Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) membuka peluang untuk melaporkan terkait dengan revisi UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan sejak awal pihaknya melihat problem dari revisi ini adalah adanya maladministrasi.
"Kalau dilihat dari produk hukum DPR nya itu cacat prosedur dan tidak legitimate," katanya saat dihubungi Bisnis, Sabtu (7/9/2019).
Rencana revisi UU No. 30/2002 tentang KPK sebelumnya disepakati semua fraksi sebagai RUU atas usulan inisiatif badan legislatif DPR untuk kemudian akan dibahas bersama pemerintah.
Adnan mengaku saat ini pihaknya masih mengkaji untuk kemudian melaporkannya ke Ombudsman mengingat revisi ini dinilai melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Kami akan melihat kemungkinan untuk melaporkan persoalan prosedur yang keliru ini ke Ombudsman," katanya.
Menurut dia, Ombudsman diharapkan bisa memberikan respons dan keputusan agar produk dari DPR itu tak perlu ditindaklanjuti karena secara prosedural dinilai sangat keliru.
Hal ini mengingat DPR memutuskan waktu tiga minggu ke depan sejak disepakati untuk menyelesaikan revisi ini guna dibahas bersama pemerintah.
"Kita akan cepat rumuskan, kalau minggu ini sudah ada report dan analisisnya relevan dengan rencana pelaporan ke Ombudsman, ya, kita akan lakukan," ujarnya.
Di sisi lain, Adnan juga memaklumi bahwa Presiden Joko Widodo mendapat tekanan dari pelbagai pihak agar menyetujui revisi itu. Dengan demikian, dia berharap Jokowi tak cepat menanggapi revisi ini.
"Publik ingin melihat Jokowi itu ada di pihak yang sejalan dengan kepentingan publik."
Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih mengaku belum menerima laporan terkait dugaan maladministrasi revisi UU KPK dari pihak manapun. Pihaknya juga belum mencermati soal dugaan itu.
Hanya saja, Ombudsman sangsi dapat mencermati lebih dalam mengingat waktu yang ada dinilai sangat pendek. Namun demikian, saat ini revisi UU KPK tersebut tergantung pemerintah.
Di sisi lain, dia juga tak paham mengapa Jokowi tidak menyatakan bahwa Pemerintah tidak ingin membahasnya di periode sekarang dan belum memprioritaskan pembahasan RUU KPK di pengujung waktu ini sehingga resistensi publik bisa mereda.
"Saya juga tak yakin para ahli hukum di Pemerintah maupun DPR tak paham tentang tahapan penyusunan Undang-Undang. Mereka pasti tahu bagaimana seharusnya," ujarnya, Minggu (8/9/2019).
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan dipengujung masa bakti DPR periode 2014-2019 ini, seharusnya badan legislasi DPR dapat membahas RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2019.
Adapun revisi UU KPK, menurutnya, sama sekali tidak termasuk dalam prioritas pembahasan.
"Menjadi kekeliruan apabila DPR tiba-tiba mendahulukan merevisi UU KPK ketimbang mendahulukan membahas UU Prolegnas prioritas," kata dia.
Menurut dia, DPR dan Presiden memang dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Isinya adalah menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas, yang mencakup beberapa hal di antaranya untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam.
Selain itu, mencakup keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atau RUU yang dapat disetujui bersama oleh kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Unand itu menyatakan bahwa pembahasan tentang revisi UU KPK oleh DPR tidak memenuhi unsur yang diatur dalam pasal tersebut.
"Sehingga selain tidak fokus dengan mengabaikan pembahasan UU prioritas prolegnas, DPR juga melanggar UU dalam pembentukan dan revisi terhadap sebuah peraturan perundang-undangan," ujarnya.