Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo dinilai berwenang untuk tidak mengesahkan RUU Pertanahan yang kini menjadi polemik dan banyak dikritisi sejumlah kalangan, karena melihat dampak dan potensi konflik yang dapat timbul manakala RUU itu disahkan.
“Apalagi RUU Pertanahan ini kan inisiatif DPR, bukan pemerintah,” ujar Guru Besar Hukum Agraria, Universitas Padjajaran, Bandung, Ida Nurlinda, Selasa (20/8/2019).
Pernyataan itu menanggapi maraknya permintaan agar RUU ini tidak disahkan pada periode DPR saat ini dan lebih baik membahas ulang di DPR periode mendatang.
Mengenai potensi konflik yang bakal muncul, Ida menjelaskan konflik sangat berpotensi timbul, baik konflik antarkementerian yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM, Kemendagri, Kemendesa, dan sebagainya.
“Konflik di masyarakat juga sangat mungkin terjadi mengingat pengaturan hak-hak atas tanah normanya berkonflik. Padahal amanat dari Tap MPR IX tahun 2001, arah kebijakan pembaruan agraria salah satunya adalah penyelesaian konflik,” ujarnya.
Soal tanah, kata Ida, itu jelas diamanatkan kepada negara untuk mengaturnya demi terwujudnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Hal ini jelas tercantum dalam konstitusi (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945), sehingga pemerintah perlu berhati-hati betul menerjemahkannya ke dalam RUU Pertanahan.
Menurut Ida, solusi terbaik melihat posisi RUU Pertanahan ini adalah mengkaji kembali isu-isu permasalahan dalam RUU tersebut dengan melibatkan seluruh kementerian yang kewenangannya terkait substansi RUU tersebut.
“Juga dengan stakeholders lainnya, karena masalah pertanahan bukan hanya masalah untuk pembangunan saja, tapi menyangkut hajat hidup orang banyak, orang kecil. Hal ini harus menjadi perhatian baik DPR maupun pemerintah,” tegas Ida.