Bisnis.com, JAKARTA – Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan yang tengah dibahas di DPR dinilai bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo untuk menarik investasi besar-besaran guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, RUU ini juga bertentangan dengan komitmen Presiden untuk menyelesaikan konflik agraria secara cepat dan tepat.
Penilaian tersebut dikemukakan anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan dari Fraksi Partai Golkar, Firman Subagyo, Kamis (15/8/2019) menjawab pertanyaan pers seputar polemik RUU Pertanahan yang kini justru didesak untuk ditunda pengesahannya pada periode ini karena sejumlah masalah yang bakal timbul di kemudian hari.
Firman menjelaskan dari serangkaian pengamatan dan keinginan presiden yang termuat di berbagai media, Jokowi semua ingin agar RUU Pertanahan ini dapat membantu untuk menumbuhkan iklim investasi yang menggairahkan sehingga mendorong atau mendukung capaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 7% pada lima tahun mendatang.
“Faktanya, RUU Pertanahan ini malah mereduksi berbagai kewenangan lintas kementerian dan lembaga. Artinya, iklim investasi justru semakin buruk, karena tidak ada koordinasi yang holistik di tiap kementerian/lembaga,” ujar Firman.
Politisi senior Partai Golkar ini juga mengemukakan keinginan Presiden Jokowi untuk mempercepat penyelesaian berbagai konflik agraria yang menahun terbantu dengan adanya UU Pertanahan ini.
Namun, ternyata dalam pembahasan, RUU Pertanahan justru tidak seperti yang diinginkan Kepala Negara. Potensi konflik malah bakal tinggi jika RUU Pertanahan disahkan segera.
Karena itu, Firman yang kini ditempatkan di Komisi II dan menjadi anggota Panja RUU Pertanahan menilai, Fraksi Partai Golkar di DPR melihat belum urgen jika RUU Pertanahan disahkan dalam periode ini.
“Kita ingin RUU ini menjawab lima persoalan pokok terkait penyempurnaan UU Pokok Agraria. Kita melihat justru sebaliknya, jika disahkan, akan berpotensi menimbulkan banyak persoalan baru,” katanya.
Kelima persoalan ini adalah ketimpangan struktural agraria yang tajam, konflik agraria yang muncul secara struktural dan belum tuntas, kerusakan ekologi yang meluas, laju alih fungsi lahan yang berdampak pada ketahan pangan, dan struktur agraria yang belum berkeadilan.