Bisnis.com, JAKARTA – Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan masih banyak hal yang perlu diperjelas, terutama dalam konteks dan potensi inharmonisasinya dengan banyak kebijakan perundangan lainnya.
Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Rudianto Amirta mengatakan belum lagi potensi kegaduhan yang mungkin timbul dari ketidakjelasan tersebut dalam taraf implementasinya nanti.
“Kami menilai saat ini ada kesan terburu-buru karena draft UU Pertanahan yang ada terkesan mengabaikan semua hal di atas dan berpotensi menyebabkan terjadinya inharmonisasi. Padahal, kita tahu UU Pertanahan ini akan bersinggungan langsung dengan banyak UU. Jadi sebaiknya ditunda saja pengesahannya,” ujarnya ketika dimintai tanggapannya, Sabtu (3/8/2019).
Dia sangat setuju bila RUU Pertanahan ditunda pengesahannya periode DPR saat ini. Sebagaimana yang telah disampaikan dirinya dan rekan-rekan pimpinan perguruan tinggi kehutanan (FOReTIKA) lainnya, pihaknya tidak setuju dan menyampaikan keberatan jika draft UU Pertanahan ini disahkan dalam waktu dekat.
Bahkan, FOReTIKA menyerukan agar DPR dapat menunda dan memberi waktu yang lebih panjang serta keterlibatan para pihak terkait, termasuk dari akademisi guna memberikan pandangan profesional akan berbagai hal yang akan diatur di dalam UU ini.
Menurut Rudianto, seharusnya hadirnya UU baru mempertimbangkan faktor harmonisasi dari semua elemen yang ada, sehingga dapat menjamin tidak terjadinya pertentangan (konflik), kontradiksi substansi (pertentangan dengan peraturan hukum lainnya), ketumpangtindihan dalam kewenangan/pelaksanaan, inkonsistensi (keteraturan azas), kesenjangan hukum; dan ketidaklayakan penerapan (incompatible).
Sejumlah aturan atau UU yang dinilai bertabrakan dengan RUU Pertanahan, lanjut Rudianto, seperti UU Pemda, UU Perseroan, UU BUMN, UU lingkungan hidup, UU Kehutanan, UU yang mengatur kompetensi peradilan di Indonesia, UU Pesisir dan aturan yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat, serta UU terkait pidana.
Selain itu, ada juga yang secara substansial dikhawatirkan terkait dengan keberadaan kawasan hutan yaitu yang tertuang pada pasal 154. Ada kekhawatiran pasal ini dapat menjadi titik masuk dari “proses pembenaran/pemutihan” atas usaha perkebunan dan lainnya yang masuk ke dalam kawasan hutan, yang pada akhirnya akan berpotensi menjadi penyebab berkurangnya kawasan hutan.