Bisnis.com, JAKARTA - Semakin dekat menuju pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih oleh MPR, pelbagai pendapat soal kabinet bermunculan. Salah satu wacana yang muncul adalah pemilihan jaksa agung yang baru oleh Presiden.
Selain munculnya wacana Jaksa Agung yang baru, di bidang hukum juga sempat muncul wacana Kapolri Baru. Alasan yang melatari perbincangan tentang Kapolri baru adalah antisipasi jika Tito Karnavian diangkat menjadi menteri di kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin.
Jika dilihat dari sisi usia, Tito masih terbilang muda dan memiliki jatah yang cukup untuk tetap memimpin Polri. Selain itu, ada anggapan di kalangan Polri bahwa saat ini belum ada sosok yang bisa "mengalahkan" Tito Karnavian dilihat dari aspek usia juga catatan keberhasilan.
Di saat isu Kapolri Baru masih sedang tahap "pemanasan" kini yang mencuat wacana Jaksa Agung yang baru.
Terkait wacana ini, Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S. Pane menyebutkan empat syarat ideal yang perlu dijadikan pertimbangan Presiden dalam memilih Jaksa Agung yang baru.
"Ada empat poin yang perlu diperhatikan Presiden dalam memilih Jaksa Agung yang baru," katanya, dalam pernyataan tertulis yang diterima Antara, di Jakarta, Sabtu (3/7/2019).
Pertama, Jaksa Agung harus bisa bekerja sama dengan Polri, dan kedua, figur berasal dari luar kejaksaan sehingga tidak "tersandera" dengan masa lalu.
Ketiga, kata Neta, bukan kader partai politik, sebab penempatan kader parpol di posisi Jaksa Agung akan mengancam independensi Korps Adhyaksa dalam melakukan penegakan hukum secara berkeadilan.
Keempat, Neta mengatakan, figur Jaksa Agung baru harus berkomitmen menuntaskan kasus-kasus hukum yang selama ini mandek di kejaksaan.
Kasus Novel Baswedan dan Pencurian Burung Walet
Neta menyebut kasus kematian tersangka pencurian sarang burung walet di Bengkulu sebagai contoh penuntasan hukum yang belum selesai.
"Salah satunya, kasus penembakan yang menyebabkan tersangka pencurian burung walet tewas di Bengkulu, yang diduga melibatkan penyidik senior KPK, Novel Baswedan," kata Neta.
Kasus Novel di Bengkulu, ujar Neta, sudah tahap P21 atau berkas perkaranya dinyatakan lengkap, tetapi tak kunjung dilimpahkan kejaksaan ke pengadilan.
Bahkan, keluarga korban sudah memenangkan praperadilan dan majelis hakim memerintahkan agar kejaksaan segera melimpahkan kasus Novel ke pengadilan.
"Tetapi, Jaksa Agung tak peduli. BAP kasus Novel tetap disimpan di kejaksaan. Jajaran kejaksaan tidak peduli dengan rasa keadilan keluarga korban yang tewas akibat ditembak, yang diduga dilakukan Novel," katanya.
Menurut Neta seharusnya kasus penembakan itu dilimpahkan ke pengadilan agar pengadilan yang memutuskan apakah benar Novel yang menembak atau bukan.
Dengan tidak dilimpahkannya BAP kasus tersebut, lanjut Neta, tentunya tidak ada kepastian hukum maupun transparansi penegakan hukum.
"Keluarga korban terus menuntut, sementara Novel tersandera kasus hukum," ujarnya.
Dari kasus tersebut, IPW melihat Jaksa Agung telah gagal menciptakan kepastian hukum, terutama dalam kasus Novel.
Untuk itu, Neta mengingatkan Presiden Jokowi dalam membentuk kabinet barunya perlu memilih Jaksa Agung yang berkomitmen dalam mendorong terciptanya kepastian hukum, dan berani menuntaskan kasus penembakan yang diduga melibatkan Novel Baswedan.
"Presiden Jokowi diharapkan memilih figur Jaksa Agung yang bisa bekerja sama dengan Polri sehingga penegakan supremasi hukum dan kepastian hukum di periode terakhirnya sebagai presiden berjalan maksimal sesuai harapan masyarakat," kata Neta.
Afiliasi Politik
Soal cantolan politik jaksa agung, peneliti bidang hukum The Indonesian Institute Aulia Y Guzasiah menekankan pentingnya jaksa agung dijabat figur-figur yang tidak terafiliasi partai politik.
"Figur seorang jaksa agung tentunya akan lebih baik diisi oleh orang-orang yang memang sama sekali tidak terafiliasi dari partai politik apa pun," kata Aulia dihubungi, di Jakarta, Sabtu.
Aulia mengatakan pada dasarnya jaksa agung harus bebas dari konflik kepentingan, sebab karakteristiknya menjalankan fungsi penuntutan dan penegakan hukum.
Aulia menjelaskan dalam UU Kejaksaan, jaksa disebutkan harus melaksanakan fungsi itu secara "merdeka", yang bermakna harus independen, berdiri sendiri, dan lepas dari anasir-anasir kepentingan tertentu yang dapat mengganggu kemerdekaannya.
"Sedangkan partai politik, sudah jamak diketahui sebagai organisasi kepentingan. Kata kepentingan di sini, tentunya harus selalu dipandang netral. Sebab hakikat partai politik itu sendiri adalah wadah di mana kepentingan-kepentingan yang berpihak pada rakyat diperjuangkan," ujar dia.
Sayangnya, kata Aulia, hal ini seringkali luput dan sulit untuk dipisahkan. Kepentingan elite dan partai politik itu sendiri tidak jarang lebih dominan dan menggerus kepentingan rakyat yang seharusnya diperjuangkan.
Dia menekankan apabila seorang jaksa agung dipilih dari partai, sulit untuk mengatakan bahwa jaksa tersebut akan terlepas dari kepentingan partainya. Meskipun, ujar Aulia, orang tersebut telah mengundurkan diri dari partainya, baik pada saat ditunjuk atau beberapa tahun sebelumnya.
Karena itu, dia menilai jaksa agung sebaiknya tidak dipilih dari figur yang pernah memiliki latar belakang sebagai kader partai politik.
"Selain untuk menghindari adanya konflik kepentingan yang tentunya akan niscaya apabila ia berasal dari partai, hal ini juga demi menjamin kemerdekaannya dalam menjalankan kekuasaan negara, dan fungsi penuntutan," kata Aulia.
Hal itu, lanjut Aulia, juga untuk menjaga korelasi dengan ciri karakteristik hukum, yakni keberpihakannya terhadap keadilan, bukan kepentingan partai.
Wacana soal jaksa agung baru tentu saja membuat NasDem tercolek. Maklum saja, Prasetyo sebelumnya terdaftar sebagai kader partai yang dipimpin Surya Paloh tersebut.
Tak heran jika kubu NasDem sempat melontarkan pertanyaan mengapa wacana jaksa agung menjadi ramai, jangan-jangan ada yang sedang mengincar kursi orang nomor satu di Kejaksaan Agung tersebut.
Betulkah ada yang ingin Prasetyo diganti? Lantas apa yang akan terjadi? Tunggu saja pengumuman kabinet dan pejabat setingkat menteri yang akan dipilih Jokowi-Ma'ruf Amin.