Bisnis.com, JAKARTA -- International Monetary Fund telah berulang kali menekankan dampak gangguan dari tarif dagang terhadap neraca perdagangan global.
Dalam laporan tahunan "External Sector Report" yang dirilis oleh IMF, lembaga tersebut menyimpulkan bahwa upaya untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan dengan menetapkan pajak impor justru telah merugikan ekonomi dunia tanpa memperbaiki masalah.
Menurut mereka, tindakan kebijakan dagang beberapa tahun terakhir telah membebani arus perdagangan, investasi hingga tren pertumbuhan global.
"Sejauh ini, [tarif] tidak memiliki dampak yang signifikan pada ketidakseimbangan eksternal sejauh ini," tulis IMF yang dikutip Bisnis, Minggu (21/7).
Namun perlu dicermati, laporan ini mengandung dukungan IMF terhadap beberapa kampanye perdagangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap Eropa.
IMF mengukur seberapa jauh ekonomi dunia telah bergerak menjauh dari perdagangan yang seimbang, di mana impor suatu negara setara dengan ekspornya.
Laporan ini menemukan bahwa angka keseimbangan dagang global turun tipis menjadi sekitar 3% dari produk domestik bruto (PDB) global tahun lalu.
Realisasi ini berada jauh di bawah rekor tertinggi sebelum 2008, meskipun masih jauh lebih besar dari angka keseimbangan dagang pada tahun 1990-an.
Faktor perubahan terbesar merupakan geografi perdagangan global.
Capaian surplus China secara umum tercatat semakin berkurang, sementara ketidakseimbangan dagang dengan surplus besar justru ditemukan di negara-negara maju, seperti Jerman, Belanda dan Korea Selatan yang ekonominya sangat bergantung pada kegiatan eskpor.
Di antara negara-negara yang mengalami defisit, IMF menitikberatkan fokusnya pada margin perdagangan di AS dan Inggris yang terus melebar.
Menurut IMF, dengan latar belakang ketegangan dagang yang terus meningkat, diperlukan urgensi yang lebih besar untuk mengatasi ketidakseimbangan jangka panjang -- namun tidak dengan kebijakan proteksionisme.
Lembaga tersebut menyatakan, negara-negara dengan defisit neraca dagang membutuhkan kolaborasi antara peningkatan keterampilan pekerja dan membangun pasar tenaga kerja yang fleksibel.
Antara lain, Kanada, Indonesia, Afrika Selatan, Spanyol, Inggris dan AS.
Sementara bagi negara-negara surplus seperti Jerman dan Korea Selatan disarankan untuk menyediakan ruang kebijakan fiskal yang cukup untuk mendorong pertumbuhan potensial dan seimbang.
Salah satunya dengan mengadopsi reformasi yang mendorong investasi dan mencegah penghematan yang berlebihan, termasuk dengan mendukung inovasi dan menderegulasi sektor-sektor tertentu.
"Kebijakan yang mendistorsi perdagangan harus dihindari. Terlebih lagi negara harus menahan diri untuk tidak menggunakan tarif untuk menyeimbangkan perdagangan bilateral karena biayanya mahal serta tidak efektif dalam mengurangi ketidakseimbangan eksternal," ujar IMF.
Bahkan di beberapa ekonomi, di mana faktor eksternl masih sejalan dengan fundamental ekonomi, diperlukan langkah untuk mengatasi ketidakseimbangan domestik dan pencegahan ketidakseimbangan eksternal melalui reformasi struktural khusus.
Termasuk dengna mengurangi hambatan untuk investasi dan persaingan di sektor-sektor tertentu, kondisi yang kerap terjadi di Jepang dan China.
IMF tidak menganjurkan bahwa seluruh negara harus selalu memiliki perdagangan yang seimbang dan sempurna, di mana menurut mereka terkadang ada alasan yang baik dibalik defisit dan surplus.
Meski demikian, penghitungan IMF mencoba untuk mengingatkan bahwa lebih dari sepertiga neraca dagang eksisting, atau sekitar 1,2% PDB dunia, dianggap berlebihan.
"Artinya, neraca perdagangan mereka melampaui potensi perkenomian untuk terus tumbuh pada laju yang sama," ungkap IMF.
China, yang satu dekade lalu mencatatkan surplus perdagangan terbesar di duni, sekarang telah mendekati neraca yang seimbang dan sejalan dengan fundamental ekonomi.
Surplus dan defisit terbesar ditemukan di negara-negara seperti Jerman dan AS.
Temuan ini bertentangan dengan desakan pemerintahan Trump yang mengatakan bahwa China telah mendistorsi perdagangan global, sebuah klaim yang memicu perang dagang dan menjadi kekhawatiran utama pasar keuangan.
Kontes antara dua ekonomi terbesar dunia itu saat ini masih terus berlangsung dengan babak baru perundingan dagang pasca pertemuan Trump dengan Presiden China Xi Jinping, bulan lalu.
Meski demikian, risiko perang tarif masih melekat di pasar.