Bisnis.com, JAKARTA - Sengketa dua caleg Partai Golkar untuk memperebutkan kursi DPR memakan korban Ketua Komisi Pemilihan Umum Sumatra Utara Yulhasni.
Rabu (17/7/2019), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mencopot Yulhasni dari jabatan orang nomor satu KPU Sumut. Pencopotan itu tertuang dalam Putusan DKPP No. 114-PKE-DKPP/VI/2019 yang dibacakan hari ini.
“Memutuskan, menjatuhkan sanksi peringatan keras dan pemberhentian dari jabatan Ketua kepada teradu I Yulhasni selaku Ketua merangkap Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatra Utara sejak putusan dibacakan,” bunyi putusan DKPP seperti dikutip di Jakarta, Rabu (17/7/2019) malam.
Komisioner KPU Sumut Benget Manahan Silitonga juga dicopot dari Divisi Teknis KPU Sumut. Komisioner lainnya, Mulia Banurea, Herdiensi, Ira Wirtati, Syafrial Syah, dan Batara Manurung, mendapatkan sanksi peringatan keras.
Pencopotan juga dijatuhkan kepada Famataro Zai dari kursi Ketua KPU Kabupaten Nias Barat. Komisioner Nigatinia Galo pun harus melepaskan jabatan Divisi di KPU Nias Barat, sementara tiga koleganya mendapatkan sanksi peringkatan keras.
Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik tak ketinggalan mendapatkan vonis dari DKPP. Namun, dia hanya mendapatkan sanksi peringatan keras.
Saksi kepada jajaran KPU tersebut dijatuhkan DKPP karena mereka terbukti melanggar kode etik sebagai penyelenggara pemilu. Mereka diadukan oleh Rambe Kamarul Zaman, caleg Partai Golkar di Daerah Pemilihan Sumatra Utara II.
Pangkal soalnya adalah keputusan Yulhasni mengirimkan surat kepada KPU Nias Barat untuk memerintahkan pemeriksaan data rekapitulasi hasil penghitungan suara di Kecamatan Lahomi, Kecamatan Mandrehe, dan Kecamatan Lolofitu Moi. Pemeriksaan dilakukan dengan pembukaan kotak suara untuk membandingkan hasil rekapitulasi di kecamatan (formulir DA1 dan DAA1) dengan hasil penghitungan suara di TPS (formulir C1).
Instruksi Yulhasi tersebut diambil berdasarkan laporan Lamhot Sinaga, caleg Golkar di Dapil Sumut II. Namun, DKPP berpendapat proses pengambilan keputusan tersebut tidak didasarkan pedoman kerja baku.
Pasalnya, Lamhot melaporkan dugaan penggelembungan suara di Nias Barat kepada KPU Sumut dengan aplikasi pesan instan WhatsApp. Laporan tersebut, menurut DKPP, tidak disertai subjek, cara perbuatan, sarana yang digunakan, tempat kejadian, serta alat bukti yang dapat dikonfirmasi kebenarannya.
Pembukaan kotak suara di tiga kecamatan Nias Barat berujung perubahan komposisi suara untuk Rambe dan Lamhot dalam memperebutkan kursi DPR jatah Golkar. Dari hasil rekapitulasi berjenjang hingga tingkat nasional, KPU menetapkan Rambe memperoleh 52.441 suara di Dapil Sumut II, nomor dua di bawah Lamhot yang meraup 53.398 suara.
Di Dapil Sumut II, Golkar mengoleksi 237.111 suara yang dapat dikonversi menjadi satu kursi DPR. Sebagai peraih suara terbanyak, Lamhot berpotensi menjadi wakil Golkar di Senayan menggantikan Rambe yang seorang legislator petahana itu.
Namun, Rambe menggugat hasil Pileg 2019 di Dapil Sumut II ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 23 Mei. Dia mengklaim 2.009 suaranya hilang akibat pembukaan kotak suara di Nias Barat.
Sebelum putusan DKPP dijatuhkan, pagi hari ini MK memeriksa permohonan Rambe dengan agenda mendengarkan jawaban KPU selaku termohon, Lamhot selaku pihak terkait, dan Bawaslu. Pekan sebelumnya, kuasa hukum Rambe, Robi Anugrah Marpaung, sudah optimistis bahwa DKPP akan mengabulkan permohonan kliennya sehingga dapat dijadikan bukti tambahan di MK.
“Kami mohon kiranya dapat dihadirkan pihak DKPP sekiranya diputuskan DKPP pengaduan kami,” pinta Robi kepada MK.
Menanggapi permintaan itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih tidak dapat menjanjikan pemanggilan DKPP. MK perlu mendalami terlebih dahulu urgensi pemeriksaan lembaga tersebut dalam sidang mendatang.