Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Efek Perang Dagang, Ekspor-Impor China Dilaporkan Anjlok

Menyusul perundingan dagang yang sempat terhenti pada Mei hingga Juni 2019, tarif impor AS terhadap produk China senilai US$200 miliar mencapai titik puncaknya.
./.Bloomberg
./.Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA -- Menyusul perundingan dagang yang sempat terhenti pada Mei hingga Juni 2019, tarif impor AS terhadap produk China senilai US$200 miliar mencapai titik puncaknya.

Kedua belah pihak telah sepakat untuk memulai kembali perundingan dagang dan menentukan gencatan senjata tarif impor, tetapi Washington dengan tegas menekankan bahwa tarif eksisting akan tetap berlaku.

Data terbaru dari Kepabeanan China menunjukkan bahwa Beijing melaporkan penurunan impor dan ekspor yang cukup signifikan sepanjang Juni.

Ekspor China turun pada Juni karena Amerika Serikat meningkatkan tekanan perdagangannya, sedangkan impor menyusut lebih dari yang diharapkan, menunjuk ke pelemahan lebih lanjut dalam ekonomi terbesar kedua di dunia dan memperlambat pertumbuhan global.

Dilansir melalui Reuters, impor China dari AS merosot 31,4% secara tahunan pada Juni bahkan setelah angka perdagangan tersebut turun sebesar 27% pada Mei.

Adapun ekspor ke AS turun lebih tinggi yakni sebesar 7,8% jika dibandingkan dengan pelemahan 4,2% pada bulan sebelumnya.

"Secara keseluruhan, impor dan ekspor menurun dari kuartal ke kuartal, dan permintaan luar negeri yang lemah akan menjadi tantangan terbesar pada paruh kedua tahun ini," kata Zhang Yi, kepala ekonom di Zhonghai Shengrong Capital Management Beijing, seperti dikutip melalui Reuters, Minggu (14/7/2019).

Laporan perdagangan yang suram menambah serangkaian data ekonomi yang melemah baru-baru ini sehingga memicu harapan bahwa Beijing perlu mengumumkan langkah-langkah stimulus lebih lanjut dalam waktu dekat untuk menangkal perlambatan yang lebih tajam.

China diperkirakan melaporkan bahwa pertumbuhan pada kuartal kedua adalah yang terlemah dalam setidaknya 27 tahun terakhir pada Senin (15/7).

Data lain yang dirilis pada Jumat (12/7/2019), menunjukkan pinjaman baru bank naik ke level tertinggi pada Juni karena pembuat kebijakan berusaha untuk menjaga kecukupan likuiditas di dalam sistem keuangan.

Pabrikan China adalah salah satu sektor industri yang berjuang dengan tantangan lesunya permintaan di dalam maupun luar negeri.

Kenaikan tajam tarif AS yang diumumkan pada Mei meningkatkan risiko pada margin laba yang sudah tipis.

Sebuah survei resmi yang dilakukan pada Juni menunjukkan bahwa industri manufaktur mencatatkan penurunan lapangan pekerjaan dengan laju tercepat sejak krisis global, ini merupakan kekhawatiran besar bagi Beijing.

Capital Economics memperkirakan bahwa pertumbuhan global tidak akan mencapai bottom out hingga tahun depan.

"Meskipun gencatan senjata tercapai antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menghapus ancaman tarif AS yang lebih lanjut, kami memperkirakan pembicaraan perdagangan akan macet lagi dan tidak butuh waktu lama," tulis Capital Economics.

Sejauh ini, Beijing mengandalkan kombinasi stimulus fiskal dan pelonggaran moneter untuk mengatasi perlambatan, termasuk ratusan miliar dolar AS dalam pengeluaran infrastruktur dan pemotongan pajak untuk perusahaan.

Bank Sentral China (PBOC) juga telah memangkas persyaratan cadangan bank enam kali sejak awal 2018 dengan tujuan untuk mengalirkan lebih banyak uang untuk dipinjamkan.

Beberapa analis percaya Beijing juga bisa memangkas suku bunga pinjaman jangka pendek jika The Fed melonggarkan kebijakan mereka akhir bulan ini.

Sayangnya, ekonomi China lambat merespons dorongan tersebut, sedangkan kepercayaan bisnis masih goyah sehingga membebani investasi.

Sebuah jajak pendapat Reuters yang dilaksanakan pekan lalu menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi China diperkirakan akan melambat ke level terendah dalam 30 tahun terakhir mendekati level 6,2% tahun ini, dari 6,6% pada 2018.

Jajak pendapat tersebut juga menunjukkan bahwa pertumbuhan tahun depan kemungkinan akan mengalami perlambatan lebih lanjut menjadi 6,0%.

Beberapa analis mengatakan proyeksi pertumbuhan bahkan bisa menjadi lebih lemah jika perundingan dagang kembali gagal dan Washington memberlakukan tarif lebih tinggi serta menetapkan pembatasan bagi perusahaan teknologi China.

MENANTI BABAK BARU NEGOSIASI DAGANG

Juni menjadi periode di mana tarif impor AS terhadap produk China senilai US$200 miliar mencapai level tertinggi pasca-kenaikan tarif menjadi 25% dari 10%, setelah perundingan dagang mengalami kegagalan pada Mei.

Beberapa eksportir yang menurunkan harga untuk pelanggan AS pascapemberlakuan tarif pertama mengatakan mereka tidak dapat menghadapi retribusi baru yang lebih kaku dan berharap dapat menghasilkan keuntungan.

Hingga saat ini, tidak ada kerangka waktu yang ditetapkan untuk putaran baru negosiasi perdagangan antara kedua ekonomi terbesar dunia tersebut.

Kedua belah pihak tetap berselisih mengenai masalah-masalah signifikan, meningkatkan risiko perselisihan yang lebih lama dan dapat memicu resesi global.

Di tengah tekanan tersebut, China dilaporkan masih menghasilkan surplus perdagangan dengan Amerika Serikat, penyebab utama perang dagang, meningkat sebesar 11% pada Juni menjadi US$29,92 miliar dari US$26,9 miliar pada bulan sebelumnya.

Sehingga untuk paruh pertama tahun ini, surplus perdagangan China dengan AS tercatat mencapai US$140,48 miliar atau tumbuh 5% secara tahunan dari US$133,76 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Nirmala Aninda
Editor : Achmad Aris
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper