Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mesti membuka dialog dalam rangka menghilangkan pemahaman radikalisme dari para eks-anggota ISIS yang kembali ke Tanah Air.
Pengamat intelijen dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, mengatakan persoalan terkait dengan radikalisme di Indonesia kembali mengemuka kala banyak WNI yang bergabung dalam organisasi ISIS ingin kembali kampung halamannya. Dikabarkan mereka menyesal telah bergabung dalam gerakan yang berbasis di Irak dan Suriah itu.
Pemerintah, lanjutnya, harus mengambil jalan tengah untuk menyikapi masalah itu. Menurut dia, langkah ini harus diambil karena ada dua paradigma berlawanan yang ada di masyarakat saat ini, antara menerima kembali atau menolak sama sekali para eks kombatan ISIS itu.
“Masyarakat kita terbagi dua saat ini, ada yang menyoroti sisi kemanusiaan jika tidak menerima, ada juga yang berpikir tentang keamanan nasional jika para eks ISIS itu kembali diterima oleh negara,” ujarnya pada Minggu (7/7/2019).
Dia menjelaskan secara teknis untuk mengembalikan ratusan orang WNI dari Suriah dan Irak merupakan hal mudah, yaitu dengan mengambil langkah-langkah diplomasi dengan negara-negara tersebut. Namun menurut dia, yang jadi masalah adalah tindakan lanjut dari pemerintah jika nantinya para eks-ISIS itu kembali ke Indonesia.
"Dari kasus-kasus yang sudah ada, para eks-teroris setelah kembali ke Indonesia kemudian dimasukkan di tempat rehabilitasi sosial. Namun, setelah keluar dari tempat rehabilitasi kita tidak tahu apakah dia sudah sadar, atau kembali ke lingkaran orang-orang yang menganut paham terorisme, kita tidak tahu," ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, adanya judgement dari masyarakat sekitar yang masih melabeli orang-orang mantan narapidana tersebut dengan sebutan teroris. Menurut dia, hal itu menjadi salah satu masalah mendasar yang membuat proses deradikalisasi itu tidak berhasil.
"Narasi di media sosial saat ini juga begitu menimbulkan segregasi di masyarakat semakin lebar. Ada yang mengaku paling Pancasila dan menganggap yang lain sebagai anti Pancasila," tutur peneliti Kajian Strategis Intelijen UI itu.
Di samping itu, para mantan narapidana terutama yang pemahaman radikalnya sudah kuat juga akan sulit untuk dilakukannya deradikalisasi. "Di mana ketika sudah pulang ke Indonesia para eks-ISIS itu masih menganggap keluarganya kafir, bahkan setelah keluar dari balai rehabilitasi," ujar Ridlwan.
Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah harus mengambil jalan tangah antara keduanya seperti dengan membuka forum dialog. Orang-orang yang mempunyai pemahaman radikal harus dipertemukan untuk mendialogkan soal mengapa begitu memegang teguh pandangan-pandangan keagamaan yang keras.
Selain itu, ormas-ormas Islam moderat juga berperan penting dalam menghilangkan rantai radikalisme di tanah Air. Menurut Ridlwan, ormas-ormas tersebut harus mempersiapkan da'i-dai yang populer dan disukai masyarakat untuk menyebarkan paham Islam yang moderat.
"Dai mereka begitu pintar untuk menyusupkan paham-paham radikal kepada masyarakat, dengan menggunakan isu-isu sederhana sehari-hari, sehingga masyarakat begitu mudah terpapar paham-paham yang mereka sampaikan," tuturnya.