Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Inilah Negara yang Paling Dirugikan Perang Dagang China-AS, Bagaimana dengan Indonesia?

Perang dagang yang berkelanjutan antara China dan Amerika Serikat tidak hanya memberikan disrupsi pada kegiatan dagang kedua negara. Perang dagang juga turut memberikan efek samping ke negara penyangga, seperti negara-negara di Asia Tenggara.
Perang dagang AS China/istimewa
Perang dagang AS China/istimewa

Bisnis.com, JAKARTA -- Perang dagang yang berkelanjutan antara China dan Amerika Serikat tidak hanya memberikan disrupsi pada kegiatan dagang kedua negara. Perang dagang juga turut memberikan efek samping ke negara penyangga, seperti negara-negara di Asia Tenggara.

Kemerosotan ekspor Asia Tenggara di tengah memburuknya perang dagang AS-China berdampak negatif pada impor.

Pemesanan dari luar negeri dilaporkan menurun seiring dengan jatuhnya ekspor dari empat ekonomi berkembang di Asia Tenggara dan Korea Selatan.

Menurut Reza Siregar dan Yuanliu Hu, ekonom di Institute of International Finance (IIF), dampak dari penurunan tersebut adalah berkurangnya tren investasi hingga berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut.

Dilansir Reuters, catatan ekonom tersebut menuliskan bahwa negara-negara yang akan mengalami hantaman terkeras adalah Korea Selatan dan Thailand, yang hingga saat ini modal asing mengalami penurunan paling banyak.

"Pertumbuhan di kedua ekonomi tersebut diproyeksikan akan melemah tahun ini menjadi 2,1 persen dan 3,4 persen untuk masing-masing negara," tulis ekonom IIF dalam sebuah catatan seperti dikutip Bloomberg, Rabu (26/6/2019).

Selain Korea Selatan dan Thailand, IIF memasukkan Indonesia, Malaysia, dan Filipina dalam analisisnya. Filipina adalah satu-satunya negara dalam kelompok tersebut dengan volume ekspor dan impor justru meningkat.

IIF mengatakan, lemahnya pertumbuhan impor juga akan menyebabkan penguatan transaksi berjalan tahun ini, terutama di Thailand dan Malaysia.

"Risiko untuk perlambatan pertumbuhan lebih lanjut tetap [terjadi] di tengah meningkatnya ketidakpastian perdagangan global, terutama jika pengurangan investasi tetap ada," kata IIF.

Di sisi lain, Oxford Economics Ltd. telah menurunkan perkiraan pertumbuhannya untuk Asia Tenggara di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan.

Ekonom Oxford untuk kawasan Asia Sian Fenner mengatakan dalam sebuah catatan, ekonomi di kawasan ini terlihat melemah menjadi 4,8 persen untuk 2019 dan 4,7 persen pada 2020 jika dibandingkan dengan pertumbuhan sebesar 5,3 persen pada tahun lalu.

"Singapura, Malaysia, dan Thailand adalah ekonomi yang paling rentan terhadap perdagangan global di wilayah yang memiliki orientasi ekspor tinggi dan integrasi perdagangan yang kuat dengan China," kata Fenner.

Fenner menambahkan bahwa sebagian dari pertumbuhan ekonomi akan dibantu oleh pelonggaran kebijakan moneter serta permintaan domestik.

Namun, pelonggaran suku bunga belum akan memberikan dampak signifikan akibat tingkat utang yang tinggi dan kerentanan terhadap arus keluar internasional.

Di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya, Singapura merupakan salah satu pengekspor yang sangat bergantung dengan China.

Tahun ini ekonomi Singapura diperkirakan akan tumbuh pada laju paling lambat dalam satu dekade.

Beberapa ahli bahkan memperkirakan kemungkinan resesi pada tahun 2020, terkait perang perdagangan AS-China.

Ekspor Singapura setara dengan sekitar 200 persen dari produk domestik bruto nasional, bobot yang jauh lebih besar daripada negara tetangga seperti Malaysia dan Indonesia. Di sisi lain meningkatkan konsumsi domestik tidak mungkin secara signifikan mendorong pertumbuhan.

"Singapura harus siap untuk kemungkinan beberapa dampak dari gangguan perdagangan global," Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengatakan kepada wartawan di Bangkok akhir pekan lalu.

Ketidakpastian mendorong bisnis memotong beban sebagai salah satu upaya mereka sebelum dampak perang dagang menyebabkan kerugian lebih dalam.

"Tidak ada yang mau berinvestasi sekarang, karena mereka ingin melihat apa yang terjadi dalam perang dagang," kata John Kong, kepala eksekutif pemasok bahan bangunan M Metal.

Kong telah meminta para pekerjanya untuk mematikan unit pendingin udara ketika mereka pergi untuk makan siang dan menghentikan pencetakan berwarna sebagai cara untuk melakukan efisiensi.

Data resmi yang dirilis pekan lalu menunjukkan ekspor elektronik, pendorong utama pertumbuhan Singapura selama dua tahun terakhir, menujukkan penurunan terbesar mereka dalam lebih dari satu dekade.

Secara keseluruhan ekspor Singapura pada bulan Mei turun paling dalam atau setara dengan tiga tahun kerja karena pengiriman ke China merosot.

Di pasar tenaga kerja, jumlah penghematan meningkat 40 persen pada kuartal pertama 2019 dari tahun lalu, didorong oleh pemotongan pekerja di sektor manufaktur.

Ekonom CIMB Private Banking, Song Seng Wun mengatakan kebijakan yang lebih akomodatif tidak akan cukup untuk menghidupkan kembali perekonomian karena pelemahan dolar Singapura tidak akan mendorong ekspor.

"Bisnis Singapura tidak akan tiba-tiba menjadi sangat kompetitif sehingga kami akan menjual lebih banyak barang dan jasa kami," katanya.

Kementerian keuangan juga memiliki ruang terbatas untuk membantu mengingat tingkat pajak yang sudah rendah, bersama dengan banyak insentif dan penggantian biaya dan anggaran ekspansi tahun ini.

"Ekonomi [Singapura] tidak siap untuk memenuhi pengeluaran infrastruktur tambahan yang besar. Ada banyak pengeluaran yang berlangsung terus-menerus di Singapura," kata Rob Carnell, kepala ekonom di ING.

Stimulus berikutnya dapat diluncurkan dalam bentuk pemotongan pajak dan lebih banyak potongan harga, tetapi operator pabrik tidak menunggu pemerintah untuk datang menyelamatkan mereka.

"Anda, sebagai produsen, harus menemukan cara untuk meningkatkan penjualan," kata Sam Chee Wah, manajer umum di Feinmetall Singapura, yang produknya digunakan untuk menguji semikonduktor wafer, komponen dalam microchip.

Dengan perseteruan AS-Cina yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda, Singapura harus menghadapi banyak tantangan untuk beberapa waktu ke depan.

"Kami belum berhasil keluar dari kesulitan. Kami juga belum pernah melihat kondisi yang lebih buruk," kata Sian Fenner, kepala ekonom di Oxford Economics.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nirmala Aninda
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper