Bisnis.com, JAKARTA -- Hingga ronde terakhir, pertarungan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 tak mengubah permainan jurus masing-masing kubu. Pertahanan ataupun serangan yang dilancarkan ke lawan politik senantiasa dibalut sentimen identitas.
Maka, tatkala hasil dibentangkan, wajar banyak pihak menyimpulkan masyarakat sudah terbelah. Pasangan calon (paslon) 01 yaitu Joko Widodo-Ma'ruf Amin memenangi pertarungan di simpul-simpul wilayah dengan mayoritas etnis Jawa serta memperoleh dukungan dari kaum minoritas dan wilayah non Muslim.
Sebaliknya, paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memukul habis lawan di daerah-daerah mayoritas Muslim non Jawa. Paslon nomor urut 02 itu menguasai suara mayoritas Sumatra serta beberapa wilayah Kalimantan dan Sulawesi, dengan basis dukungan gerakan Islam modernis yang kuat.
Contoh paling telanjang yaitu kemenangan mutlak Jokowi-Ma'ruf di Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebaliknya, kemenangan telak Prabowo-Sandi terdapat di wilayah Aceh dan Sumatra Barat.
Petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) melakukan rekapitulasi surat suara di tingkat Kecamatan di GOR Kelapa Gading, Jakarta, Senin (22/4/2019)./ANTARA
Baca Juga
Terdapat semacam luka lama yang digerogoti kembali dengan adanya pertarungan Pilpres 2019. Kejadian ini sangat klise seperti perdebatan Pancasila semasa awal republik berdiri yang ditolak masyarakat Indonesia bagian timur, berbentur dengan kelompok Muslim modern Masyumi yang banyak pendukung di wilayah Sumatra.
Tafsir luka sejarah itu pun bisa beririsan dengan konfrontasi tak berujung, antara kongsi PNI-NU versus Masyumi-PSI yang tergambarkan dari wilayah perlawanan separatis masa Orde Lama. Sumatra dan sebagian Sulawesi memprotes arah kebijakan “Jakarta Sentris” Soekarno yang juga disokong elite NU.
Lebih kekinian, luka yang kembali terbuka menganga itu mengisyaratkan bentrokan antar friksi militer alumni Orde Baru. Kubu Wiranto yang eks Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI (Menpangab) beradu sebagai perwakilan suara paslon 01, beradu taji dengan kubu Prabowo beserta klan militernya.
Tak pelak, makin dekat hari akhir keputusan Pilpres, makin mendidih pula suasana politik nasional. Protes dilayangkan, sesumbar ancaman ditebarkan.
Meletuslah peristiwa 21-22 Mei, aksi damai yang berujung dengan kerusuhan di beberapa titik ibu kota merespons hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memenangkan paslon 01.
Suasana itu pun seakan sangat mencekam, dengan bumbu rentetan penangkapan oleh Polri terhadap beberapa tokoh dari kubu paslon 02. Mereka dianggap berencana makar, malah telah mempersiapkan senjata dan amunisi, untuk menciptakan martir lapangan.
Calon presiden (capres) Prabowo Subianto dan calon wakil presiden (cawapres) Sandiaga Uno mengumumkan menolak hasil perhitungan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa (21/5/2019)./Bisnis-Feni Freycinetia Fitriani
Kondisi yang belum sepenuhnya reda, kini disusul dengan hembusan isu separatisme yang bangkit. Adalah Muzakir Manaf atau Mualem dari Aceh yang melontarkan keinginan referendum bagi “Serambi Mekah”.
Di Aceh, Prabowo-Sandi merebut 81 persen suara pemilih. Kesenjangan antara kenyataan dan harapan publik Aceh itu pun melecut kekecewaan.
Muzakir Manaf, eks Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini menjadi dedengkot Partai Aceh, melontarkan gagasan untuk melakukan referendum. Pidato yang disampaikan di tengah para pejabat daerah itu seolah meluruhkan keutuhan dan perdamaian yang telah dicapai pada 2005, di Helsinki, Finlandia.
Pernyataan yang kini telah banyak dikutip media nasional tersebut mengutarakan rasa putus asa masyarakat Aceh, terutama setelah hasil Pilpres 2019 kembali gagal mengantar Prabowo ke kursi presiden.
Walaupun tak bulat, suara kombatan GAM mampu menyentak publik seantero negeri. Eks Kombatan GAM terdeteksi tak seluruhnya menyokong Prabowo-Sandi, salah seorang yang mendukung petahana yaitu Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Aceh Kamaruddin Abubakar selaku Ketua Sekretariat Bersama (Sekber) Aceh untuk paslon Jokowi-Ma'ruf.
Alasan Memisahkan Diri
Pangkal tolak gagasan memisahkan diri, bukan hanya Aceh, melainkan yang telah viral di ranah media sosial, seluruh Sumatra itu adalah kekecewaan terhadap hasil Pilpres 2019. Seolah seluruh dataran Sumatra menolak selain Prabowo untuk memimpin NKRI.
Indonesia mempunyai pengalaman panjang didera aksi separatisme. Sejak semula berdiri, republik telah dirongrong gerakan seperti DI/TII yang berbasis di Jawa Barat (Jabar), Aceh, hingga Sulawesi Selatan.
Tak hanya itu, gerakan lain juga meletus seperti Republik Maluku Selatan (RMS) hingga PRRI/Permesta. Aksi yang terakhir dinilai muncul dari kolaborasi Masyumi dan PSI.
Terkait hal itu, Doktor Yudi Latif, yang merupakan penulis banyak buku terkait Pancasila dan Negara Paripurna serta mantan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), membenarkan bahwa jalannya Pilpres kali ini telah membuka segala konflik kedaerahan yang pernah ada di Indonesia.
“Yang dulu dan sekarang, kemunculan isu kedaerahan selalu sama faktornya, yaitu kontestasi politik level nasional. Jadi ada kelompok yang merasa dimarjinalkan, atau kalah posisinya, maka hal kedaerahan atau identitas itulah yang digunakan untuk melawan,” katanya kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.
Tersangka pelaku kericuhan pada Aksi 22 Mei ditunjukkan polisi saat gelar perkara di Polres Metro Jakarta Barat, Kamis (23/5/2019)./ANTARA FOTO-Indrianto Eko Suwarso
Di sisi lain, Yudi mengingatkan kemunculan politik identitas kedaerahan yang berujung pada aksi separatisme atau kemauan memisahkan diri akan menjadi besar jika hal tersebut memang mendapat sokongan publik secara luas.
Pada masa pergolakan PRRI/Permesta, isu santer yang didengungkan adalah ketidakadilan pembangunan serta jatah pejuang daerah. Seketika, isu itu mendapatkan simpati besar masyarakat karena sejalan dengan hal itu, kondisi perekonomian di daerah memang merosot.
“Apalagi, semasa itu, kekuatan pergolakan PRRI/Permesta melibatkan kekuatan asing, Amerika Serikat,” tegasnya.
Cukup Kritik
Sebaliknya, mencuatnya kembali isu separatisme seiring dengan ketidakpuasan hasil Pilpres 2019 harus dianggap sebagai kritik wajar. Apalagi, sewaktu kritik itu dilancarkan sebagai cermin dari kondisi masyarakat sekitar yang tak mengalami kemajuan.
“Intinya, ada tidak persoalan ekonomi yang dijadikan landasan?” tutur Yudi.
Di sisi lain, data statistik sedikit menunjukkan bahwa wajah perekonomian masing-masing wilayah yang dikuasai paslon 01 dan 02 memang memiliki perbedaan. Dari 13 provinsi yang dimenangi Prabowo-Sandi, mayoritas memiliki catatan pertumbuhan di bawah capaian nasional.
Pada kuartal I/2019, Badan Pusat Statistik (BPS) merekam pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,07 persen, naik tipis secara tahunan. Sementara itu, dari 13 wilayah yang digenggam Prabowo-Sandi, sebanyak 7 provinsi memiliki taraf pertumbuhan di bawah skala nasional.
Paling rendah dicatatkan oleh Provinsi Riau dengan capaian pertumbuhan sebesar 2,88 persen. Sebaliknya, angka pertumbuhan tertinggi dari wilayah dengan suara mayoritas Prabowo-Sandi adalah Provinsi Maluku Utara, yakni sekitar 7,65 persen.
Dari sisi kondisi sektor tenaga kerja, wilayah-wilayah itu pun menorehkan hasil yang juga kurang melegakan. Terdapat 7 provinsi dari 13 provinsi yang didera skala pengangguran melebihi besaran Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Nasional yang mencapai 5,01 persen pada Februari 2019.
Pencari kerja mendaftar di salah satu stan perusahaan pada Job Market Fair 2018 di Klaten, Jawa Tengah, Selasa (18/9/2018)./ANTARA FOTO-Aloysius Jarot Nugroho
Jabar dan Banten yang dianggap basis paling kuat Prabowo-Sandi, menanggung jumlah pengangguran paling besar, dengan TPT masing-masing 7,73 persen dan 7,58 persen. Adapun provinsi dengan TPT terkecil dari kantong suara paslon 02 yaitu Bengkulu dengan besaran 2,5 persen.
Wajah yang nyaris sebaliknya tersebar sebagai wilayah penguasaan paslon 01. Dari 21 provinsi yang dimenangi Jokowi-Ma'ruf, hanya 4 wilayah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berada di bawah skala nasional.
Kemandekan pembangunan ekonomi ini masih terjadi di Papua dan Papua Barat, yang juga menyumbang kemenangan bagi paslon 01. Keduanya memiliki pertumbuhan ekonomi minus.
Tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang tertinggi selaku kantong suara paslon 01 dipegang DI Yogyakarta. Pertumbuhan ekonomi provinsi yang dibawahi Sultan Hamengku Buwono X ini mencapai 7,5 persen.
Lain hal dengan tingkat pengangguran. Dari seluruh wilayah yang mampu digenggam Jokowi-Maruf, terdapat tujuh provinsi dengan TPT melampaui skala nasional.
Provinsi dengan TPT tertinggi yaitu Maluku serta Kalimantan Timur. Keduanya masing-masing mempunyai angka TPT di level 6,91 persen dan 6,66 persen.
Pemaksaan Kehendak
Direktur Setara Institute Hendardi berpendapat mencuatnya isu separatis di tengah kekecewaan salah satu paslon dalam Pilpres 2019 merupakan bagian dari bentuk pemaksaan kehendak. Menurutnya, terdapat dua skenario memaksakan kemenangan salah satu paslon, yaitu pseudo-yuridis dengan memaksakan kehendak kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mendiskualifikasi paslon 01.
“Itulah mengapa tekanan yang mereka berikan sebagian besar melalui Bawaslu,” terang Hendardi.
Pekerja memasang barikade beton di depan Gedung Bawaslu di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jum'at (24/5/2019). Penebalan barikade untuk mengantisipasi potensi kericuhan susulan pascapengumuman penetapan hasil rekapitulasi Pemilu serentak 2019./ANTARA FOTO-Indrianto Eko Suwarso
Saluran lainnya, yaitu politik jalanan dan inkonstitusional.
“Mereka memaksakan tindakan rusuh dengan berharap ini akan melahirkan efek domino politik seperti di Suriah. Ada martir yang dikorbankan, harapannya memicu instabilitas politik skala besar dan diharapkan presiden tidak bisa mengendalikan situasi,” simpulnya.
Hendardi mengamati ada dua aktor utama skenario tersebut, yaitu pensiunan tentara dan jaringan kelompok radikal, yang pada dasarnya simpatisan dan pendukung yang menunggangi paslon 02. Persoalannya, dia mengingatkan gerakan ini secara keseluruhan tak bisa disetop secara segera.
“Karena mereka pada dasarnya punya agenda masing-masing. Prabowo juga tidak. Di tengah-tengah kelompok itu, Prabowo bukan solidarity maker, hanya figur elite yang juga sesungguhnya 'dipionkan' sebagai simbol oleh mereka, bahwa ini seakan-akan kontestasi elektoral dalam kerangka demokrasi,” tutup Hendardi.