Bisnis.com, JAKARTA -- Kementerian Luar Negeri Iran menyebut sanksi tambahan yang dijatuhkan terhadap negara itu menunjukkan bahwa tawaran pembicaraan AS tidak sungguh-sungguh.
Pada Jumat (7/6/2019), AS kembali memberikan sanksi kepada Iran. Sanksi terbaru membidik grup holding petrokimia terbesar Iran, Persian Gulf Petrochemical Industries Company (PGPIC).
PGPIC diduga secara tidak langsung mendukung Korps Garda Revolusi Iran (IRGC), organisasi militer yang bertanggung jawab atas program rudal balistik dan nuklir Iran.
Padahal, pada awal bulan ini, Presiden AS Donald Trump mengatakan dirinya akan bersedia melakukan pembicaraan dengan Iran.
"Hanya perlu menunggu sepekan sampai klaim Presiden AS tentang pembicaraan dengan Iran terbukti kosong," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Iran Abbas Mousavi seperti dilansir Reuters, Sabtu (8/6/2019).
Ketegangan meningkat antara Iran dan AS dalam beberapa pekan terakhir, setelah Washington mengirim lebih banyak pasukan militer ke Timur Tengah, termasuk kapal induk, pembom B-52, serta rudal Patriot untuk membendung ancaman Iran bagi pasukan dan kepentingan AS di wilayah tersebut.
Baca Juga
AS bertujuan untuk menggencarkan tekanan ekonomi dan militer terhadap Iran karena program-program misil nuklir dan balistiknya serta dukungannya bagi kelompok-kelompok proksi di Suriah, Irak, Lebanon, dan Yaman.
Pada 2015, Trump memutuskan menarik Negeri Paman Sam dari perjanjian nuklir damai, yang melibatkan AS, Iran, dan negara-negara adidaya dunia. Dalam perjanjian itu, Teheran bersedia membatasi program nuklirnya dengan imbalan keringanan beberapa sanksi.
Setelah keluar, Trump menyampaikan kecamannya atas kesepakatan itu dan menerapkan kembali sanksi keuangan yang keras terhadap Iran. Dia menilai apa yang dilakukan Iran masih belum cukup untuk menunjukkan itikad baik negara Timur Tengah itu.