Bisnis.com, JAKARTA — Peneliti The Centre for Strategic and International Studies, CSIS, Arya Fernandes berpendapat gerbong koalisi yang dibangun capres-cawapres Joko Widodo - Ma'ruf Amin tak perlu ditambah.
Sebelumnya, Partai Demokrat dan PAN santer disebut akan bergabung ke koalisi Jokowi-Ma'ruf. Dengan bergabungnya dua partai ini, diperkirakan komposisi koalisi pendukung pemerintah di DPR 2019-2024 akan mencapai 77 persen.
Memang, sistem presidensial membutuhkan dukungan parlemen yang dominan agar pemerintahan berjalan efektif. Tetapi, Arya berpendapat bergabungnya dua partai ini justru akan membuat parlemen kita mandul, kurang kontrol, dan lemah.
"Tentu, pertama dari sisi pasca-Pemilu kita butuh Parlemen yang kuat. Tapi kalau semuanya [bergabung] di pemerintahan, tentu kita tidak punya perlemen yang kuat," ungkap Arya dalam sebuah diskusi di kantor Populi Center, Kamis (23/5/2019).
"Kita bayangkan kalau komposisi dukungan 77 persen, tentu parlemen akan mandul atau tidak kritis lagi, tidak ada perdebatan di parlemen dan seterusnya," tambah Arya.
Oleh sebab itu, menurut Arya, keputusan Jokowi akan menerima dua partai ini masuk ke dalam koalisi atau tidak menjadi menarik untuk disimak.
Baca Juga
Di satu sisi, apabila menerima, publik akan berpendapat bahwa Jokowi bisa merangkul semua pihak atau bersikap pragmatis. Jokowi lebih memprioritaskan parlemen kuat demi memuluskan program-programnya.
Di sisi lain, apabila tak menerima, opini publik bisa berbeda, tetapi bisa dikenang sebagai pendidikan politik untuk masyarakat, untuk menilai koalisi parpol di masa depan.
"Bahwa koalisi bukan soal Anda punya kursi atau tidak, tapi apakah Anda punya platform politik yang sama atau tidak," jelas Arya.