Bisnis.com, JAKARTA--Di barisan mereka ada Eni Saragih, Idrus Marham, Johanes Budisutrisno Kotjo, dan Samin Tan. Agak lama kemudian Sofyan Basir terseret masuk di dalamnya.
Mereka adalah tersangka kasus dugaan suap pada proyek PLTU Riau-1. Pusaran kasus dugaan korupsi di negeri tak pernah sepi.
Di gelanggang lainnya ada Romahurmuziy (Romi) yang sebelumnya adalah ketua umum PPP. Dia juga tersangka penerima suap untuk posisi yang diincar seorang pejabat Kemenag di Jawa Timur. Bahkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sudah tidak dapat tidur nyenyak pula, karena sudah diperiksa sebagai saksi terkait dengan ulah Romi tersebut.
Terlihat, dugaan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) merebak di banyak gelanggang. Sama halnya dengan Lukman. Rekannya di kabinet, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita juga mulai gerah. Ruang kerjanya di kantor kementerian dan rumah pribadinya digeledah KPK.
Aroma tak sedap bisnis distribusi pupuk berhembus kian kencang. Dan Enggar diduga ada di pusaran tersebut berkat informasi dari anggota DPR yang sudah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka, Bowo Sidik Pangarso.
Dunia olah raga nasional juga sudah kena virus suap. Lagi seorang anggota kabinet, Menpora Imam Nahrawi disebut-sebut oleh jaksa KPK menerima aliran uang senilai Rp11 miliar dari KONI. Politisi asal Partai Kebangkitan Bangsa itu langsung menampiknya.
Tak ada habisnya menyorot kasus korupsi di negeri ini. Hari berganti hari, ada saja pejabat publik yang tercoreng integritasnya karena tersandung suap-menyuap.
Lalu bagaimana? Apakah setan gundul korupsi ini tidak bisa diberangus? Jika bisa, apa jurus mautnya? Kalau tidak bisa, siapa 'monster' seram yang ada di belakangnya?
Saya jadi teringat buku tebal soal rasuah yang ditulis B. Herry Priyono berjudul Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi yang terbit tahun lalu. Herry adalah dosen dan ketua program studi pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Menelaah isinya ibarat mengarungi perjalanan waktu, mulai dari maraknya praktik memberi hadiah di era kekuasaan ribuan tahun sebelum Masehi hingga zaman kontemporer ketika institusi bernama Bank Dunia mulai malang melintang memberikan bantuannya yang menetes ke negara-negara berkembang.
Saya tertarik dengan perdebatan yang pernah mengemuka. Korupsi sebagai minyak pelumas pembangunan versus korupsi sebagai pasir pengganjal pembangunan. Bisa jadi keduanya relevan dengan kondisi yang dialami Indonesia. Buktinya, korupsi tak pernah mati di negeri ini meskipun di gempur siang dan malam oleh KPK.
Apabila prinsip 'tujuan menghalalkan segala cara' dianggap sebagai kelaziman atau bahkan kebenaran, selama itu pula praktik busuk kekuasaan bergerak bebas, menerabas pagar-pagar moral, etika, dan sosial-budaya masyarakat.
Jalan pintas dianggap jalan yang paling baik. Proses, pembelajaran, pendewasaan dituding sebagai ganjalan sistemik dalam meraup kekuasaan-keuntungan sesingkat-singkatnya.
Awan gelap praktik busuk politisi tamak era kuno terbayang kembali. Seperti diulas Herry, masyarakat kuno Mesopotamia, Mesir, Israel atau Yunani, norma yang berlaku adalah bahwa 'resiprositas merupakan aturan hidup bersama. Rantai memberi dan menerima hadiah merupakan dianggap tata bahasa resiprositas.
Praktik suap menyuap juga mulai dikenal di Yunani kuno dengan beberapa istilah seperti 'dorodokeo' (menerima suap), 'dekazo' (menyuap), dan 'dorodokia' (penyuapan). Pada 367 sebelum Masehi, Timagoras--utusan Athena--dihukum mati karena terbukti menerima suap dari raja Persia.
Alih-alih memperkuat posisi negaranya, dia malah memberi keuntungan bagi pihak lawan, karena disuap perabotan mewah dalam jumlah besar.
Sejarah mengenal pula skandal Harpalos yang mengguncang Athena pada 323 SM. Dia adalah menteri keuangan era Alexander Agung (raja Macedonia), yang justru minggat ke negeri seteru, Athena.
Demosthenes, politisi yang banyak lagak tapi jago orasi, usul agar pembangkang negeri musuh tersebut dihabisi saja. Sebagai langkah awal dia menahan aset Harpalos berupa ratusan uang 'talenta' di Acropolis, bangunan ikonik di dataran tertinggi kota Athena.
Suatu hari Si Orator itu pergi ke Athena. Yang mengherankan Harpalos lolos dari kurungan, dan jumlah uang sitaannya di Acropolis berkurang drastis. Dewan polis lalu menggelar investigasi selama enam bulan. Hasilnya Demosthenes jadi tersangka suap.
Sidang digelar dengan melibatkan sedikitnya 1.500 juri. Di hari penentuan nasib, dia pun divonis bersalah. Didenda. Dibuang dari Athena.
Hypereides, lawan politik terdakwa, tak melewatkan kesempatan emas ini untuk mengkanvaskan seteru sekaligus mengatrol pamor dirinya.
"Para juri yang terhormat, seperti telah saya katakan dalam sidang, Anda begitu longgar terhadap para jenderal dan orator yang mengejar keuntungan pribadi. Bukan hukum yang mengizinkan mereka melakukan itu, melainkan sikap lunak dan kemurahan hati Anda. Namun Anda semua berhati-hati dengan menetapkan satu syarat: uang yang mereka ambil [terima] harus demi kepentingan Anda, bukan melawan kepentingan Anda semua."
Dari pidato zaman kuno itu, apa yang tidak tercermin dengan kondisi Indonesia kontemporer? Seorang ketua Mahkamah Konstitusi dan hakim konstitusi ditahan karena korupsi. Tak terhitung politisi DPR, DPRD hingga kepala daerah yang mengenakan rompi oranye KPK.
Dari kalangan bisnis, pengusaha hitam juga makin tebal saja menghiasi riwayat suap-menyuap. What's next?
Mungkin dianggap terlalu Hollywood bila mengikuti langkah epik Eliot Ness, agen penegak hukum, di The Untouchables. Bisa pula belajar dari kisah sukses Gubernur Hong Kong (1971-1982) Sir Murray Mac Lehose yang tak mengenal rasa takut dalam menegakkan hukum yang terkoyak akibat politik uang, mafia, dan korupsi.
Atau mau meramu keduanya menjadi senjata baru?