Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah memastikan tidak akan membentuk tim pencari fakta atas meninggalnya ratusan petugas KPPS pada Pemilu 2019.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, kematian petugas pemilu sebagian besar karena jantung dan stroke, bukan diracun seperti kabar yang beredar.
"Bukan karena diracun. [tudingan diracun] Itu sesat dan ngawur, tidak menghormati keluarga korban," kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Selasa (14/5/2019).
Dalam siaran pers yang diterima Bisnis, Moeldoko menggelar rapat bersama menteri dan pihak terkait untuk membahas meninggalnya ratusan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Pemilu 2019.
Hadir dalam rapat tersebut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Sekretaris Jenderal KPU Arif Rahman Hakim dan perwakilan dari Ikatan Dokter Indonesia dan sebagainya.
Rapat membahas soal penyebab meninggalnya ratusan KPPS, penanganan bagi yang sakit dan bagaimana langkah-langkah mengatasinya. Soal santunan bagi keluarga korban dan anggota KPPS yang masih sakit, juga evaluasi terhadap keseriusan pemeriksaan kesehatan anggota KPPS yang perlu menjadi perhatian pada Pemilu mendatang.
Menurut Moeldoko, yang diperlukan saat ini adalah tim yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan untuk melihat dari sisi kesehatan seiring dengan beban tugas.
Hal lainnya yang perlu dilakukan adalah bagaimana memperbaiki sistem kerja KPU sampai ke jajaran terbawah di Pemilu berikutnya. Moeldoko juga menyinggung masukan dari Ikatan Dokter Indonesia yang menurutnya bagus yaitu melihat resiko pekerjaan.
“Kita harus pikirkan bagaimana risiko pekerjaan, apakah pekerjaannya terlalu berlebihan? Hal-hal inilah yang perlu dipikirkan untuk diperbaiki ke depan, beban kerja yang semakin proporsional dengan jam kerja” kata Moeldoko.
Sekretaris Jenderal KPU Arif Rahman Hakim mengatakan sampai hari ini ada 485 pahlawan demokrasi yang meninggal dan 10 .997 yang sakit. Kepada mereka, KPU telah memberikan uang santunan yang besarnya bervariasi.
Arif mengakui dalam perekrutan petugas KPPS sebelumnya agak longgar. Mereka hanya diminta untuk menyertakan keterangan sehat dan belum diasuransikan. Arif meminta ada evaluasi dan ke depannya, masalah rekruitmen petugas diperbaiki. Terutama menyangkut kondisi kesehatan dan batasan usia” K kami mengusulkan ini diperbaiki," katanya di kantor Staf Presiden (KSP).
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek memaparkan dari jumlah korban meninggal, 39 persen meninggal di rumah sakit, sisanya meninggal di rumah (61 persen).
Mereka yang meninggal, kata Nila, sekitar 58 persen berusia di atas 60 hingga 70 tahun. Sedangkan mayoritas atau 51 persen dikarenakan jantung cardiovasculer.
Untuk meneliti korban yang meninggal di luar rumah sakit, kata Nila, pihaknya akan bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan IDI untuk meneliti. Terhadap mereka ini, kata Nila, akan dilakukan autopsi verbal. Tim akan menanyakan riwayat sakit kepada keluarga dan orang-orang sekitarnya.
"Tingkat ketepatannya bisa sampai 80 persen," ujar Nila.