Bisnis.com, JAKARTA -- Amerika Serikat menunjukkan sikap melunak dalam pembicaraan sengketa dagang dengan China, termasuk menarik tuntutan terkait subsidi industri yang dilakukan Negeri Panda sebagai salah satu syarat kesepakatan dagang.
Isu subsidi industri disebut-sebut menjadi poin tersulit karena berkaitan dengan kebijakan industri pemerintah China.
Beijing diketahui memberikan subsidi dan potongan pajak kepada perusahaan milik negara dan sektor industri yang dianggap strategis sebagai penopang pertumbuhan jangka panjang. Kebijakan ini merupakan upaya Presiden China Xi Jinping untuk meningkatkan peran pemerintah dalam ekonomi negara.
"Untuk mengejar tercapainya kesepakatan paling tidak hingga bulan depan, negosiator AS memilih fokus pada sektor lain yang masih memungkinkan untuk didiskusikan," ujar seorang sumber Reuters, seperti dilansir pada Senin (15/4/2019).
Sektor-sektor lain yang akan lebih difokuskan oleh Negeri Paman Sam antara lain pengakhiran transfer teknologi secara paksa, perbaikan perlindungan hak kekayaan intelektual, dan memperluas akses ke pasar China.
"Kesepakatan yang akan membuat Xi terlihat lemah bukanlah kesepakatan yang penting baginya. Apapun kesepakatan yang kita dapat, akan lebih baik dibandingkan apa yang kita punya, dan itu tidak cukup untuk beberapa orang. Tapi itulah politik," lanjut sumber tersebut.
Selama 9 bulan terakhir, 2 ekonomi terbesar dunia ini terlibat perang dagang yang telah merugikan keduanya hingga miliaran dolar, menyebabkan pergolakan pasar uang, dan menganggu rantai pasok.
Pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah mengenakan tarif impor atas barang-barang China senilai US$250 miliar untuk menekan permintaan. Awalnya, Washington juga ingin mengakhiri sejumlah kebijakan China, termasuk subsidi industri, yang dipandang merugikan perusahaan AS yang bersaing dengan perusahaan China.
Tak mau kalah, China merespons dengan tarif balasan atas barang-barang AS.
Subsidi dan keringanan pajak pemerintah China telah menjadi sumber gesekan antara kedua negara selama bertahun-tahun. Washington mengatakan Beijing telah gagal mematuhi kewajiban Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) terkait subsidi, yang dapat mempengaruhi kinerja impor dan ekspor.
Adapun China telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi sejumlah kekhawatiran AS atas kasus-kasus yang diajukan kepada WTO. Pemerintahan Xi juga mulai secara terbuka menurunkan dorongannya untuk mendominasi masa depan industri teknologi di bawah kebijakan "Made in China 2025".
Meski demikian, keluhan Washington tidak berakhir sampai di masalah subsidi industri. Kantor Perwakilan Dagang AS (US Trade Representative/USTR) mengeluhkan katalog subsidi dan stimulus lain, termasuk akses istimewa terhadap penggunaan modal dan tanah.
AS menuding China lalai dalam pelaporan detail setiap bentuk subsidi yang seharusnya disampaikan kepada WTO. AS merinci ada lebih dari 500 subsidi berbeda yang diberlakukan China dalam laporannya kepada WTO.
Ruang lingkup program subsidi pemerintah daerah China sebagian besar tidak diketahui. Bahkan, negosiator China mengatakan dalam diskusi baru-baru ini, pihaknya tidak mengetahui rincian semua program tersebut.
"China terus melindungi subsidi pemerintah pusat besar-besaran dari pengawasan anggota WTO," ujar USTR dalam sebuah laporan pada Februari 2019, kepada Kongres AS tentang kepatuhan China atas aturan WTO.