Kabar24.com,JAKARTA — Keluarga korban kecelakaan penerbangan Lion Air JT-610 menuntut pihak maskapai dan produsen pesawat untuk menyelesaikan kewajiban kompensasi.
Merdian Agustin, kerabat salah seorang korban tewas dalam kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 Oktober 2018 silam mengatakan bahwa meski keluarga mereka telah menjadi korban, namun konpensasi dari maskapai belum jelas hingga saat ini.
“Kami bingung, frustrasi dan kecewa karena tanggung jawab maskapai dan produsen pesawat tidak jelas,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin (8/4/2019).
Menurutnya, permintaan maaf dari petinggi Boeing Denis Muilenburg atas kecelakaan pesawat tiper 737 MAX 8 itu bisa menjadi pijakan pabrikan pesawat asal Amerika Serikat itu serta Maskapai Lion Air untuk mempercepat pemberian kompensasi kepada para ahli waris korban.
Dia menjelaskan bahwa perihal pemberian ganti rugi, pihak maskapai sebelumnya meminta para ahli waris untuk menandatanganani kewajiban release & discharge atau yang berarti tidak akan melakukan tuntutan hukum apapun kepada maskapai sebelum pemberian ganti rugi Rp1,25 miliar. Lanjutnya, permintaan penandatanganan itu terjadi pada Maret 2019.
Harry Ponto dari Kantor Advokat Kailimang & Ponto,mengatakan bahwa penandatanganan pelepasan dari tuntutan hukum itu bukan merupakan bagian dari persyaratan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 77/2011. Justru regulasi itu mengatur bahwa penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat berhak menerima ganti rugi. Dalam Pasal 23 jelas menyatakan bahwa besarnya kerugian tidak menutup penumpang menuntut perusahaan ke pengadilan.
“Ahli waris atau korban kecelakaan dapat melakukan penuntutan pengadilan dan dapat ganti kerugian tambahan,” tuturnya.
Sementara itu, Michael Indrayana yang mewakili firma hukum Kabateck LLP dari Amerika Serikat meminta keluarga korban untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan Cook County, di negara bagian Illinois, Amerika Serikat. Gugatan ini, lanjutnya, diajukan untuk menuntut hak atas kerugian yang dialami akibat keluarga kehilangan kerabatnya dalam kecelakaan tersebut.
Saat ini, menurutnya, sudah ada 60 keluarga yang mendaftarkan gugatan ke Amerika Serikat dan masih dalam proses. Gugatan itu telah diajukan pada November, atau sebulan setelah JT 610 mengalami kecelakaan.
Sebelumnya, Sebanyak 24 keluarga korban kecelakaan Lion Air kode penerbangan JT 610 yang jatuh pada 29 Oktober 2018 lalu mensomasi Lion Air terkait persyaratan tambahan yang harus disetujui keluarga korban.
Kuasa hukum keluarga korban yang mensomasi, Danto mengatakan, penandatangan Realease and Discharge tersebut sangat merugikan ahli waris dan tidak sesuai dengan UU No. 1/2009 tentang penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan No. 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
"Ini somasi pertama dan terakhir, kami memberikan jangka waktu 30 hari. Setelah itu kami mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jadi, dalam tuntutan tersebut, tercantum syarat R and D itu, kalau keluarga korban setelah menerima santunan tidak boleh menuntut Boeing," katanya.
Menurut pengacara dari kantor hukum Danto dan Tomi and Rekan ini, syarat tersebut tentu sangat merugikan ahli waris korban kecelakaan maskapai JT 610 karena kalau dengan menandatangani syarat tersebut maka keluarga korban tidak bisa menuntut Boeing lagi.
Dengan demikian, kata Danto, ada makna potensi Boeing dan lebih dari 1.000 perusahaan dalam daftar R and D lepas dari tuntutan gugatan masa mendatang. Padahal, lanjutnya, Boeing mempunyai andil terhadap kecelakaan saat itu.
"Di Permenhub, setelah menerima uang santunan pun, keluarga masih bisa melakukan gugatan. Boeing itu ada peran besar terhadap kecelakaan Lion air, setidaknya diingatkan lagi kejadian di Ethiopia," ujarnya.