Bisnis.com, JAKARTA - Warga Rwanda berkumpul pada Minggu (7/4/2019) untuk memberi penghormatan pada ratusan ribu nyawa etnis Tutsi dan moderat Hutu yang terbunuh selama 100 hari aksi genosida pada 25 tahun lalu.
Upacara penghormatan diawali dengan peletakan karangan bunga oleh Presiden Rwanda Paul Kagame di situs memorial genosida Gizosi, tempat lebih dari 250 ribu korban dimakamkan. Peletakan bunga menandai awal dari berbagai acara selama sepekan di negara Afrika itu.
"Kita perlu mengingatnya karena dengan itu satu-satunya jalan untuk memastikan hal yang sama tak terulang," kata Olive Muhorakeye (26) kepada Reuters. Olive masih balita saat selamat dari genosida itu.
Upacara penghormatan akan dilanjutkan dengan acara "langkah untuk mengingat" pada sore waktu lokal. Kegiatan jalan bersama yang mengambil rute dari gedung parlemen ke stadion sepak bola nasional itu diikuti oleh 2.000 masyarakat sipil dan pejabat pemerintahan.
Setidaknya 10 kepala negara diperkirakan akan hadir. Di antaranya adalah dan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker dan Gubernur Jenderal Kanada Julie Payette.
Pembantaian 100 hari di Rwanda dimulai pada 6 April 1994 setelah Presiden Juvenal Habyarimana dan mitranya Cyprien Ntaryamira dari Burundi yang berasal dari etnis Hutu terbunuh ketika pesawat mereka ditembak jatuh di atas ibu kota Rwanda. Pelaku penyerangan itu tak pernah diketahui sampai sekarang.
Kematian Habyarimana lantas menjadi momentum bagi tentara pemerintah beserta kelompok ekstremis Hutu yang tak puas dengan kebijakan pembagian etnis untuk mengatur genosida, pemusnahan terhadap minoritas Tutsi.
Di desa-desa di seluruh negara berpenduduk padat itu, pria, wanita dan anak-anak disiksa sampai mati, dibakar hidup-hidup, dipukuli dan ditembak. Sebanyak 10.000 orang terbunuh setiap hari dan 800 ribu orang diperkirakan tewas dalam pembantaian selama tiga bulan itu.
Sebanyak 70 persen dari populasi minoritas Tutsi dimusnahkan, jumlah itu setara dengan lebih dari 10 persen total populasi Rwanda yang berpenduduk 7,4 juta orang saat itu.
Pembantaian tersebut berakhir pada Juli 1994 ketika Front Patriotik Rwanda (RPF), sebuah gerakan pemberontak dari etnis Tutsi yang dipimpin Kagame, menyerbu masuk dari Uganda dan menguasai negara itu.