Bisnis.com, JAKARTA - Gerakan ‘putihkan tempat pemungutan suara (TPS)’ yang digelorakan oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor untuk mendukung capres petahana Jokowi-Ma’ruf berpotensi membelah dan membenturkan masyarakat di tingkat akar rumput.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno mengatakan meskipun bukan termasuk pelanggaran pemilu, akan tetapi gerakan putih tersebut harus diantisipasi lantaran bisa mengundang keterbelahan rakyat.
"Menggunakan kemeja putih nanti dianggap kompetitor sehingga bisa menimbulakn efek negatif meski Komisi Pemilihan Umum menyebut hal itu bukan pelanggaran," kata Adi, Kamis (4/4/2019).
Adi pun menjelaskan, bahwa realita yang sedang terjadi, dua kubu kini malah mengarah pada saling klaim kemenangan. Karena itu, kondisi tersebut berpotensi membenturkan masyarakat.
Ajakan untuk mengenakan pakaian putih terinspirasi dari pakaian petahana dalam poster dan baliho kampanye untuk mengesankan kesederhanaan dan merakyat.
"Sementara dari koalisi Prabowo-Sandi melalui organisasi masyarakat (ormas) pendukungnya seperti FUI mengklaim gerakan putihkan TPS sudah lama dikampanyekan untuk mendukung capres 02 tersebut. Saling klaim semacam ini bagian dari strategi kampanye mengajak loyalis voter datang ke TPS," ujar Adi.
Baca Juga
Selain GP Ansor yang sebelumnya mengajak pendukung Jokowi mengenakan pakaian putih saat pencoblosan, capres nomor urut 01 Jokowi juga mengajak seluruh pendukungnya untuk melakukan hal yang sama.
“Karena itu saya dan Pak Ma’ruf Amin di surat suara juga pakai baju putih. Jadi, putihkan TPS. Agar mudah mengingatnya, putih adalah kita,” ujar Jokowi, saat berkampanye di Lhokseumawe, Aceh, pada Selasa (26/3/2019).