Bisnis.com, JAKARTA Besok, Rabu (3/4/2019), umat Islam kembali akan memperingati peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW. Tampaknya, peringatan kali ini menuntut kita untuk benar-benar melakukan Mikraj menuju kesempurnaan spiritual.
Artinya, bagaimana menjadikan shalat–‘buah tangan’ Nabi SAW ketika melakukan Mikraj ‘beraudiensi’ langsung dengan Allah SWT–sebagai wahana menuju kesempurnaan spiritual, dalam arti mampu berimplikasi positif sekaligus reformatif bagi perilaku kita sehari-hari.
Ini sungguh penting. Sebab, meski umat Islam di negeri ini mayoritas tetapi ada sebuah fakta bahwa di era reformasi saat ini terdapat kecenderungan pada lapisan atau kelompok sosial tertentu ke arah situasi keterasingan yang tampil dengan ciri masyarakat yang serba boleh.
Secara historis, kecenderungan alienatif semacam itu pernah terjadi dalam masyarakat Arab pra-Islam, sebelum Nabi Muhammad SAW menjalankan misi profetiknya sebagai nabiyullah.
Ironisnya, kini hadir kembali dalam sejarah masyarakat modern yang menganut paham permisivisme, ultraliberal, dan semacamnya. Tak terkecuali bangsa Indonesia yang notabene mayoritas mengklaim diri sebagai umat Nabi Muhammad SAW.
Meski kita telah masuk dalam orbit reformasi selama kurang lebih 20 tahun, tapi nyatanya kita malah berada dalam kekuasaan para elite politik, bahkan ulama dan intelektual dari negeri seribu etnis ini yang hanya sibuk berebut kekayaan dan kue-kue kekuasaan dengan cara-cara tribal.
‘Perang Badar’ dan ‘Perang Total’ yang ditandai dengan ‘sahur manuk’ elite politik jelang Pilpres, adalah contoh riil betapa moralitas politik dan ekonomi, bahkan moralitas keagamaan kini hanya sebatas political commodity.
Ini menunjukkan, betapa di sebagian tubuh bangsa ini, baik di tingkat elite maupun grass root, masih bercokol individu-individu yang arogan, anarkis, radikal, amoral, antireformasi dan semacamnya.
Demoralisasi individual dan sosial– meminjam istilah Marciano Vidal–yang ditandai dengan meningkatnya kejahatan moral dan kondisi masyarakat yang kian tak peduli dengan moral, membentang di hadapan kita.
Kasus jual beli jabatan yang, ironisnya terjadi di Kementerian Agama dan melibatkan Romahurmuziy, petinggi partai politik berhaluan Islam (PPP), kian menegaskan bahwa moralitas sebagian bangsa ini tengah berkarat.
Lalu, bila ada satu hal yang kiranya dapat berperan maksimal untuk meluruskan kembali yang melenceng, mereformasi, memelihara dan meningkatkan moralitas individu, masyarakat, dan bangsa, tak lain adalah agama.
Peringatan Isra Mikraj kali ini yang kebetulan jatuh jelang Pilpres semestinya memberi momentum untuk memulai hal itu.
Dalam perspektif Islam, kesadaran spiritualitas berhimpit erat dengan kesadaran manusia. Artinya, semakin tinggi kesadaran keberagamaan seseorang, semestinya kian tinggi pula kualitas kemanusiaannya.
Hal ini dicontohkan Nabi Muhammad SAW dalam Mikrajnya ketika ‘beraudiensi’ langsung dengan Allah SWT. Baginya, “Mikrajnya manusia ke angkasa luar bukanlah sebuah upaya pendakian spiritual untuk berpaling dari tanggung jawab kemanusiaan, melainkan justru dengan Mikraj itu bisa terjalin kontak antara Kehendak Yang Suci yang berada di langit dan orientasi manusia yang berada di bumi”.
Dengan demikian, menurut konsepsi Islam, nilai kemanusiaan hanya bisa dipahami ketika semua perilaku lahir batinnya diorientasikan kepada tuhan, dan pada saat bersamaan juga membawa implikasi konkrit terhadap upaya meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk memelihara dan mengintensifkan jalinan organik ini, salah satu cara yang harus ditempuh oleh seorang muslim adalah meningkatkan kesadaran spiritualitas-religiusnya melalui shalat. Shalat bisa dipandang sebagai institusi iman, di mana sebuah keyakinan dan orientasi keilahian diaktualisasikan dan dikaitkan dengan orientasi praksis untuk mewujudkan the human right.
Dengan kata lain, rentangan spektrum Ilahi berada di satu sisi, dan spektrum kemanusiaan berada di sisi lain. Secara metafisis tak tepat jika keduanya diletakkan dalam perspektif ruang sebagaimana yang kita pahami. Namun keduanya menyatu dalam sebuah kesadaran batin, sehingga bagi seorang muslim, dalam perilaku kemanusiaannya hendaklah sesuai norma Ilahi.
Demikian juga kehangatan dalam bertuhan, hendaknya terefleksikan dalam perilaku kemanusiaannya. Dalam level ini, barangkali kita menamakannya sebagai satu kesatuan gerak. Gerakan keilahian dan sekaligus gerakan kemanusiaan.
Jadi, mengingat posisi sentral yang diperankan manusia dalam jagad raya ini (khalifatullah fil ardl), keagungan sesung-guhnya tak bisa dipahami tanpa ada keterkaitan dengan tuhannya.
Demikian juga, bila ridla Ilahi tak lagi menjadi pusat orientasi manusia, kualitas motivasi kehidupan akan menjadi rapuh, dan manusia bisa jadi terperangkap pada posisi bermusuhan melawan transformasi sosio-kultural, dan pasti manusia dalam posisi yang kalah.
Keyakinan dan perasaan akan kemahahadiran tuhan inilah yang akan memberi kekuatan moral, pengendalian, dan sekaligus kedamaian hati seseorang. Alhasil yang bersangkutan akan senantiasa merasa dalam orbit tuhan, bukan dalam putaran dunia yang tak jelas lagi ujung pangkalnya.
Kini, kita telah 20 tahun lebih berada di era reformasi yang menuntut adanya revolusi mental di segala sektor kehidupan. Keberhasilan dan kegagalannya akan diukur dengan, apakah semuanya itu akan menyuburkan nilai spiritualitas dalam kehidupan kemanusiaan atau malah sebaliknya.
Di sinilah kebertuhanan dan kebermanusiaan menjadi semacam ‘poros tengah’ dan sekaligus tolok ukur dalam mengevaluasi proses reformasi bangsa ini.
Dalam konteks ini, patut dicamkan ‘teori cermin’ Imam al-Ghazali. Dalam karya magnum opus-nya, Ihya' Ulum al-Din, beliau mengatakan: “Aktivitas kemanusiaan yang tidak diterangi cahaya Ilahi, bagaikan orang berjalan di atas lorong setan yang gelap, dan orang yang hanya sekedar percaya kepada Tuhan, tetapi tidak menumbuhkan sifat-sifat atau nilai spiritual-religius di dalam dirinya, maka ia bagaikan iblis yang bergentayangan”.
Dengan demikian, visi ketuhanan dan kemanusiaan yang berakar pada setiap individu harus terjelma dalam tata nilai perilaku kehidupan sehari-hari. Inilah yang diajarkan dalam ibadah shalat.
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya shalat itu akan mencegah (kamu) dari melakukan 0perbuatan keji dan mungkar" (QS.29:45). Apa yang kita lakukan akan dituntut pertanggungjawabannya di hadapan tuhan.
Kiranya benar apa yang dikatakan W.M. Dixon dalam bukunya, The Human Situation (1990), bahwa agama merupakan dasar yang kuat bagi moral.
Akhirnya, pertanyaan hipotesis patut dikemukakan. Kalau saja dalam proses reformasi bangsa ini tak lagi memuat nilai spiritualitas-religius yang menjadi acuannya, moralitas dan kehidupan manusia macam manakah yang akan muncul?
Sebaliknya, kalau saja keberagamaan itu hanya dihayati sebagai urusan individu untuk mendapatkan ketenangan dan menjadi media penebus dosa setelah bergelimang kezaliman, bukankah itu bertentangan dengan misi setiap agama?
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (2/4/2019)