Bisnis.com, JAKARTA--Apa yang biasanya dicemaskan oleh seorang politikus? Tidak lain hanyalah pemilihan umum yang bebas, kebebasan mengemukakan pendapat serta kekhawatiran terhadap golongan radikal.
"Dan tentu saja terhadap humor," ujar Von Werner Finck (1978), komedian yang juga aktor dan seniman kabaret kondang asal Jerman.
Finck tentu tidak ingin menyindir para politisi Indonesia yang tak lama lagi akan menerima nasib "menang-kalah" dalam pemilu 17 April mendatang.
Setuju dengan Finck, lebih baik melihat kehebohan politik jelang pemilu ini dari sisi humornya saja.
Hal-hal yang berat dan bikin pening kepala, serahkan saja kepada pemerintah biar segera dibenahi.
Sebagai negara yang sedang menyambut datangnya pemilu, wajar bila suhu politik meningkat.
Adu opini para politisi terasa menyesaki berbagai saluran kehidupan dunia maya. Lontaran humor dari pihak lain ditanggapi serius oleh pihak lainnya.
Aksi balas pun berdentum kencang. Perang di medan laga media sosial seolah tak berkesudahan.
Politik Indonesia memang tidak seperti yang ada dalam pemikiran Finck. Kita bukan negara totaliter.
Perang urat syaraf dengan meluncurkan meme di media sosial, misalnya, bisa berlangsung dengan bebas. Tinggal klik saja, sudah tersedia banyak pilihan.
Kelucuan dan bahkan juga kekonyolan politik bisa dengan mudah dijadikan amunisi dan senjata oleh para pihak yang berlaga di pemilu.
Karena itu publik makin sering disuguhi tontonan yang 'mengibur' seputar ulah politisi maupun perpolitikan negeri ini.
Presiden Jokowi mengucapkan kata 'unicorn', lalu dijadikan humor. Begitu pula ketika Prabowo Subianto mengkonfirmasi ucapan tersebut saat debat capres beberapa waktu lalu.
Masih banyak lagi bahan humor, mulai dari soal akurasi data, penguasaan lahan, produk impor, angkatan kerja hingga kebakaran hutan.
Hal ini tentu tidak terjadi di negara-negara totaliter. Pemilu di negara-negara ini bisa dibilang cuma hiasan.
Para politisinya bisa saja memanipulasi pemilu, membungkam pendapat umum, dan melumpuhkan bandit-bandit fanatik.
"Akan tetapi terhadap humor, mereka tidak berdaya," sindir Finck.
Paling banter penguasa hanya mampu mencekik batang leher si tukang cerita. Akan tetapi humor itu sendiri menyelip lolos dari setiap pengejaran.
Indonesia tidak sehoror itu. Politik di negeri ini sungguh amat cair. Yang semula oposisi, besok bisa saja menjadi rekan koalisi. 'Bermain di dua kaki' pun sepertinya jadi jurus ampuh untuk menjaga keseimbangan dan 'kesehatan' partai. Pun, gonta-ganti partai makin menjadi gaya hidup yang disukai politisi.
Pernah dengar seorang memaki bahwa politik itu busuk? Jika yang berkata demikian orang biasa, tak perlu dipercaya. Karena bisa saja cuma luapan frustasi atau sekadar iri dan dengki terhadap kemilau kehidupan kaum politisi.
Apa hubungannya dengan humor? Tunggu dulu.
Ternyata umpatan tersebut justru datang dari seorang Winston Churchill, politisi ulung Inggris yang sulit dicari tandingannya.
Karena itu merupakan opini dari tokoh penggemar berat cerutu tersebut, bisa jadi malah ada benarnya. Dan kebetulan dari masalah-masalah busuk sering muncul apa yang dinamakan 'humor'.
''Humor biasanya tumbuh subur di suasana yang kontradiktif dan munafik, dimana realita tidak sesuai, bahkan bertolak belakang dengan apa yang diidamkan," tulis Jaya Suprana dalam kata pengantarnya di buku Humor Politik karya Milo Dor dan Reinhard Federmann yang berjudul asli Der Politische Witz itu.
Karena itu tak heran apabila salah satu masalah yang kerap menjadi korban humor adalah politik.
Karena suasana politik yang di luar tampak begitu anggun tetapi di dalam perutnya ternyata penuh akal-akalan busuk seperti dikatakan Churchill tadi. Itu saja sudah menimbulkan kejenakaan.
Jadi tidak perlu sewot dan cepat baperan. Begitu ujaran kekinian yang sering kita dengar. Benar, di era apapun, humor menjadikan pikiran lebih segar.
Dan yang pasti humor politik ini masih akan panjang umurnya. Jangan-jangan malah abadi. Selama masih ada penguasa dan mereka yang dikuasai, disitu pula ia bisa hidup subur.
Seperti kata Jaya Suprana, politik memang sarat dengan suasana dukung sana, jegal sini, jilat sana, jitak situ, janji ini, ingkar itu, berlumur aneka kontradiksi dan kemunafikan, serba tumpang tindih, dan morat-marit.
"Memang kegiatan politik an sich sudah merupakan suatu bentuk humor," ujar pebisnis dan seniman yang dikenal multi talenta itu.
Jadi, siapapun pemimpin yang menang pilpres April nanti, seberat apapun kondisi bangsa ini, jangan sekali-kali melupakan janji. Atau akan dilumat humor?