Bisnis.com, JAKARTA - Pengembangan kasus proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1 masih menyisakan sedikit tanda tanya. Kemanakah pengembangan kasus itu akan bermuara?
Komisi Pemberantasan Korupsi baru menjerat pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk., Samin Tan, sebagai tersangka kasus dugaan suap terminasi kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), berdasarkan pengembangan perkara PLTU Riau-1.
Samin Tan diduga menyuap Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih senilai Rp5 miliar untuk membantu pengurusan terminasi kontrak antara PT Asmin Koalindo Tuhup (anak usaha PT Borneo Lumbung Energi & Metal) di Kementerian ESDM.
Padahal, dalam vonis Eni Saragih pada awal Maret lalu, politisi Golkar itu terbukti menerima gratifikasi senilai Rp5,6 miliar dan SG$40.000 dari sejumlah direktur perusahaan minyak dan gas (Migas).
Gratifikasi sebesar itu diterima Eni masing-masing Rp250 juta dari Direktur PT Smelting, Prihadi Santoso; Rp100 juta dan SG$40.000 dari Direktur PT One Connect Indonesia (OCI), Herwin Tanuwidjaja; Rp5 miliar dari pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk., Samin Tan; dan Rp250 juta dari Presiden Direktur PT Isargas, Iswan Ibrahim.
Gratifikasi itu di luar uang suap yang diterima Eni dari pengusaha sekaligus pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo senilai Rp4,75 miliar.
Baca Juga
Lantas, dari nama-nama itu mengapa hanya pengusaha batu bara Samin Tan yang terjerat?
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resouces Yusri Usman mengaku heran dan mempertanyakan konsistensi KPK. Menurut dia, lembaga pimpinan Agus Rahardjo itu terkesan tidak konsisten dalam melakukan tindakannya.
Menurut dia, meskipun nominal uang gratifikasi tersebut ada yang hanya Rp100 juta, tetapi patut diduga uang itu adalah gratifikasi yang pantas diusut lebih jauh.
"Tetap dianggap suap terkait peran Eni Saragih sebagai anggota DPR Komisi VII yang mampu mengintervensi kebijakan sektor energi dibawah Kementerian ESDM," ujar Yusri kepada Bisnis, Rabu (27/3/2019).
Yusri mengingatkan agar marwah KPK sebagai lembaga independen tidak sampai tebang pilih. Apalagi, kasus ini disorot oleh publik.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Sasongko memiliki pandangan yang berbeda. Dia menilai belum terjeratnya pemberi gratifikasi lainnya kemungkinan sebagai bagian strategi KPK.
Menurutnya, akan lebih kuat pijakan hukumnya bagi KPK untuk menelusuri gratifikasi itu jika di dalam putusan pengadilan nanti menerima dakwaan jaksa tentang gratifikasi.
"Dakwaan itu mestinya sudah didasarkan pada fakta-fakta hukum, yang mungkin dari saksi atau alat bukti lain."
Eni sendiri sudah divonis 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan. Sidang perkara PLTU Riau-1 ini tinggal menyisakan mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang dituntut jaksa 5 tahun penjara.
Dadang yakin, KPK sudah bergerak jauh untuk mengembangkan prahara ini. Dalam artian, tak hanya berhenti pada Samin Tan seorang.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan soal asas pembuktian adanya gratifikasi.
Menurut dia, sesuai Pasal 12B UU Tipikor menentukan bila nilai gratifikasinya di atas Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
Sedangkan, apabila nilai gratifikasinya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh jaksa penuntut umum.
Artinya, asas pembuktian terbalik hanya diterapkan terhadap kasus suap yang nilai gratifikasinya di atas Rp10 juta atau lebih.
Oleh karena itu, lanjut dia, gratifikasi di atas Rp10 juta harus dilakukan penuntutan dan dijadikan perkara.
"Karena itu termasuk gratifikasi yang diterima oleh Eni Saragih selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR," ujarnya.
Dia menganggap KPK sudah bergerak mengarah ke pengusutan kepada sang pemberi gratifikasi. Terutama terhadap pemberi yang nominalnya besar.
Jaksa penuntut umum KPK Lie Putra Setiawan yang menangani perkara ini enggan buka-bukaan soal pengembangan kasus ini. Dia beralasan, hal itu ada di ranah penyelidik dan penyidik KPK.
"Kalau ada [pengembangan], pasti nanti KPK sampaikan."
Namun, kata dia, yang jelas pembuktian adanya gratifikasi sudah terungkap di persidangan dengan kondisi alat bukti dan fakta persidangan tersebut.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengaku menunggu perkembangan kasus ini kepada jaksa KPK.
Dia juga meminta publik agar bersabar terlebih dahulu. Menurut dia, sejauh mana jaksa KPK akan melihat hal tersebut.
"Nanti jaksa akan lapor seperti apa kasus itu bisa dikembangkan, kita tunggu dulu."
Pengembangan dari kasus ini memang patut ditunggu. Terlebih, penerimaan gratifikasi Eni diperuntukan untuk kegiatan politik sang suami. Jadi, kemanakah kasus ini akan bermuara?