Bisnis.com, JAKARTA - Pemilu Thailand gagal menghasilkan mandat yang jelas dari para pemilih dengan poensi perpecahan dalam pembagian kekuasaan di antara parpol peserta pemilu sehingga membuat militer kemungkinan akan mempertahankan kekuasaannya di bawah PM Prayuth Chan-ocha.
Setelah lima tahun di bawah pemerintahan militer dan antusiasme penduduk untuk melaksanakan pemilu, namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
Pemilu yang digelar kemarin setelah aksi kudeta militer pada 2014, tidak mudah untuk menyelesaikan banyak perpecahan yang sulit untuk diselesaikan Thailand. Pasalnya, Komisi Pemilihan Umum Thailand sudah menghitung 93 persen suara dalam pemilu yang berlangsung kemarin sebagimana dikutip Reuters, Senin (25/3/2019).
Hasilnya, Partai Palang Pracharat pendukung junta militer Prayuth Chan-ocha unggul dengan 7,59 juta suara. Sedangkan pesaingnya adalah Partai Pheu Thai yang meraih 7,12 juta suara.
Pheu Thai adalah partai yang dianggap sebagai tempat bernaungnya loyalis mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra. Partai ini merupakan oposisi dalam pemerintahan yang dipimpin Prayuth Chan-ocha.
Hasil ini merupakan popular vote. Raihan suara belum menggambarkan jumlah kursi yang didapat partai peserta pemilu. Hasil pemilu ini juga tidak langsung menghasilkan perdana menteri yang baru.
Dengan selisih suara yang tipis tersebut tidak mudah bagi Prayuuth untuk membentuk pemerintahan selain memiliki kursi yang tidak mayoritas di parlemen. Prayuth akan menemui kesulitan membuat undang-undang di parlemen.
Sistem pemilu tersebut dinilai merugikan partai-partai oposisi yang lebih besar, suatu tindakan yang dicap tidak adil dan tidak demokratis oleh para kritikus.