Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia kembali memenangkan perkara gugatan Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd. di forum arbitrase International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington DC, Amerika Serikat.
"Kemenangan atas gugatan tersebut diputuskan pada 18 Maret 2019. Memang, sebelumnya sudah kita menangkan pada 6 Desember 2016, tetapi para penggugat mengajukan annulment of the award [permohonan pembatalan putusan] pada 2017," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (25/3/2019).
Dalam putusan tersebut, Komite ICSID yang terdiri atas Hakim Dominique Hascher, Professor Karl-Heinz Böckstiegel dan Professor Jean Kalicki mengeluarkan putusan yang berisi penolakan terhadap semua permohonan annulment of the award yang diajukan oleh Para Penggugat.
"Kemenangan atas gugatan dalam forum ini bersifat final, berkekuatan hukum tetap, sehingga tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat dilakukan oleh para penggugat. Artinya, kita terbebas dari gugatan yang mencapai nilai US$1,3 miliar atau dalam kurs sekarang sekitar Rp18 triliun," sambung Yasonna.
Kasus ini bermula pada 4 Mei 2010 ketika Pemerintah Kabupaten Kutai Timur mencabut perizinan eksplorasi tambang empat anak perusahaan para penggugat di wilayah seluas 350 km2, di Kecamatan Busang.
Menyusul pencabutan tersebut, para penggugat menilai pemerintah setempat telah melakukan pelanggaran ekspropriasi [suatu bentuk nasionalisasi yang disertai dengan pembayaran ganti rugi atau kompensasi] tidak langsung (indirect expropriation) dan prinsip perlakuan yang adil dan seimbang.
"Mereka [para penggugat] berpandangan bahwa pencabutan izin ini adalah suatu tindakan ekspropriasi, yakni investasi yang dicabut atau dibatalkan secara sepihak. Mereka juga meminta kompensasi atas biaya yang dikeluarkan dan atas future of benefit [keuntungan pada masa mendatang] dari investasi yang mereka klaim sudah ditanam di Indonesia," papar Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Cahyo R. Muzhar pada kesempatan yang sama.
Selama proses peradilan yang berjalan kurang lebih enam tahun, Pemerintah Indonesia mengajukan sejumlah bukti forensik yang menunjukkan adanya pemalsuan 34 dokumen perizinan oleh para penggugat. Dokumen yang dipalsukan tersebut di antaranya adalah izin pertambangan tahap general survey dan eksplorasi.
Berdasarkan temuan tersebut, Tribunal ICSID sepakat dengan argumentasi Pemerintah Indonesia bahwa “investasi yang bertentangan dengan hukum tidak pantas mendapatkan perlindungan dalam hukum internasional.” Tribunal ICSID juga menemukan bahwa “Para Penggugat tidak melakukan kewajibannya untuk memeriksa mitra kerja lokalnya serta mengawasi dengan baik proses perizinannya (lack of diligence).”