Bisnis.com, JAKARTA - Keluarga korban serangan di masjid Christchurch mulai menguburkan kerabat mereka lima hari setelah 50 orang tewas dalam penembakan massal terburuk dalam sejarah Selandia Baru.
Setidaknya dua korban dimakamkan pada hari ini di Memorial Park Cemetery, setelah mayat-mayat tersebut dipindahkan dari kantor koroner sehari sebelumnya.
Di antara mereka yang dikubur adalah seorang pengungsi Suriah berusia 15 tahun Hamza Mustafa dan ayahnya, Khalid. mereka baru saja tiba di Selandia Baru enam bulan sebelum mereka terbunuh.
"Kita semua di sini untuk memberikan penghormatan," kata seorang petugas penguburan kepada kerumunan ratusan orang yang berkumpul di lokasi.
Penguburan dilakukan setelah polisi mengonfirmasi lima korban pertama dari serangan saat salat Jumat di masjid Al Noor dan Linwood.
Muccad Ibrahim yang berusia tiga tahun termasuk di antara mereka yang dikonfirmasi tewas dalam pembantaian itu, yang oleh Perdana Menteri Jacinda Ardern dicap sebagai serangan "teroris".
Polisi mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa 27 korban akan diidentifikasi pada tengah hari ini dan akan diserahkan kepada keluarga mereka. Ada kesedihan yang mendalam di kalangan keluarga karena pejabat yang bertugas dinilai lamban dalam mengidentifikasi para jenazah.
Namun, pihak berwenang mengatakan mereka perlu 100 persen yakin dalam proses identifikasi sehingga tubuh yang salah tidak dikembalikan ke keluarga korban. Selain itu tujuannya agar bukti tersebut dapat digunakan di pengadilan terhadap tersangka pembunuhan.
"Saya ingin sekali lagi meyakinkan Anda bahwa kami bekerja tanpa henti, melakukan segala daya kami, untuk menyelesaikan proses identifikasi formal secepat mungkin," kata Komisaris Polisi Mike Bush dalam sebuah pernyataan sebagaimana dikutip Aljazeera.com, Rabu (20/3/2019).
Rumah Sakit Christchurch mengatakan 29 orang yang terluka dalam serangan itu masih menjalani perawatan medis. Sedangkan, delapan lainnya masih dalam kondisi kritis. Seorang gadis berusia empat tahun dirawat di Rumah Sakit Starship di Auckland juga tetap dalam kondisi kritis.
Warga Australia, Brenton Tarrant dituduh melakukan pembantaian dengan senjata semi-otomatis yang dimodifikasi. Dia akan hadir di pengadilan Christchurch pada 5 April mendatang.