Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi(MK) tetap memperhatikan faktor teknis pelaksanaan Pemilihan Umum 2019 sebagai pertimbangan dalam memutus perkara pengujian norma hak pilih.
Pemohon dua perkara uji materi UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sama-sama mendesak MK untuk memutus perkaranya sebelum pemungutan suara. Mengingat mepetnya waktu, MK tidak serta mengabulkan permintaan bila putusannya berpotensi mengganggu teknis penyelenggaraan pesta demokrasi.
Hakim Konstitusi Saldi Isra memahami pentingnya melindungi hak pilih sebagian warga negara yang potensial terlanggar akibat sejumlah norma dalam UU Pemilu. Namun, lembaganya juga tidak boleh gegabah mengabulkan permohonan yang berdampak pada pelaksanaan pemilu.
“Kami tidak bisa memutus kalau menimbulkan masalah lain,” katanya kepada pemohon uji materi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Jakarta, Kamis (14/3/2019).
Di samping itu, Saldi mewanti-wanti bahwa permasalahan di tempat pemungutan suara (TPS) bisa berujung sengketa hasil pemilu ke MK. Jangan sampai, kata dia, terjadi keributan setelah pemungutan suara akibat putusan MK.
Terkait dengan prioritas perkara, Saldi mengatakan lembaganya masih berpegang pada hukum acara yang berlaku. Namun, bukan mustahil perkara bisa diperiksa lebih cepat bila pemohon bergegas memperbaiki permohonan. Sesuai dengan hukum acara, waktu perbaikan permohonan diberikan paling lama 14 hari.
“Tapi kalau pemohon bisa memperbaiki besok, minggu depan bisa sidang perbaikan permohonan,” tuturnya.
Pemohon Perkara No. 19/PUU-XVII/2019 adalah dua mahasiswa perantau di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang menggugat materi UU Pemilu terkait alokasi surat suara cadangan sebanyak 2% jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Mereka juga meminta jangka waktu dan syarat mengurus daftar pemilih tambahan (DPTb) bisa dilonggarkan.
Permohonan tersebut beririsan dengan Perkara No. 20/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan oleh sejumlah aktivis demokrasi dan pemilih yang terancam kehilangan hak suara. Mereka meminta jangka waktu mengurus DPTb diperpanjang dari 30 hari menjadi 3 hari sebelum pemungutan suara.
Pemohon juga menuntut MK memberikan payung hukum terhadap TPS khusus DPTb dan penggunaan dokumen kependudukan selain KTP-el untuk memilih di TPS. Ada pula permintaan untuk menjamin hak memilih anggota legislatif bagi pemilih pindahan, hingga perpanjangan penghitungan suara di TPS sehari setelah pencoblosan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, salah satu pemohon Perkara No. 20/PUU-XVII/2019, memastikan perbaikan permohonan akan dilakukan secepatnya agar perkara ditangani lebih cepat. Namun, dia mengakui bahwa tidak semua norma baru yang diminta perlu diputus sama cepat.
Titi mencontohkan ketentuan perpanjangan penghitungan suara membutuhkan payung hukum mendekati hari-H. Sementara itu, aturan TPS khusus harus diputus lebih cepat karena berkorelasi dengan waktu distribusi surat suara.
Meski demikian, Titi pun memahami bahwa pengujian konstitusionalitas norma-norma tersebut telah teregistrasi dalam satu perkara. Sesuai aturan MK, putusannya pun harus tertuang dalam satu dokumen yang sama, tidak terpisah-pisah.