Bisnis.com, JAKARTA -- Dengan kembali ditolaknya proposal Brexit oleh Parlemen Inggris, kini Pemerintah Inggris hanya memiliki dua opsi akhir yakni Brexit tanpa kesepakatan (no-deal Brexit) yang berisiko tinggi atau penundaan Brexit.
Kesepakatan Brexit yang ditawarkan oleh Perdana Menteri (PM) Inggris Theresa May kembali ditolak Parlemen, dengan 391 suara penolakan berbanding 242 suara setuju.
Meskipun isi kesepakatan sempat dinegosiasikan ulang pada Senin (11/3/2019) malam, Parlemen Inggris tetap bersikeras untuk menolak proposal Brexit yang telah disusun selama dua tahun terakhir.
Jaksa Agung Inggris Geoffrey Cox mengatakan bahwa penundaan waktu Inggris keluar dari Uni Eropa (UE) tidak dapat dihindari.
Penolakan ini disebabkan oleh kebijakan Irish backstop yang masih tercantum pada kesepakatan Brexit baru yang disampaikan. Menurutnya, risiko dari kebijakan ini hanya berkurang tapi tidak sepenuhnya dihapus pada proses negosiasi ulang dengan UE.
Inggris sejatinya dijadwalkan untuk meninggalkan blok ekonomi terbesar itu pada 29 Maret 2019, dengan atau tanpa kesepakatan.
Dengan tidak adanya solusi kesepakatan yang dicapai, Parlemen Inggris kemungkinan akan mengadakan voting untuk menunda Brexit dalam pekan ini, termasuk anggota kabinet May yang diperkirakan akan bermanuver untuk memaksa pemerintah mengulang perencanaan Brexit dari awal.
Namun, penundaan ini akan memicu drama berkepanjangan pada pemerintahan Inggris selama beberapa bulan ke depan. Perlu dicatat bahwa belum lama ini, May menyetujui opsi referendum kedua di antara opsi potensial lainnya.
Dia menyatakan opsi no-deal Brexit atau perpanjangan tenggat waktu tidak akan memecah perselisihan antara Parlemen dengan Pemerintah Inggris.
"Saya tetap percaya bahwa sejauh ini, opsi terbaik adalah Inggris tetap keluar dari UE secara tertib dengan suatu kesepakatan. Kesepakatan yang sudah kami negosiasikan ini adalah satu-satunya opsi yang tersedia," ujar May seperti dilansir dari Bloomberg, Rabu (13/3).
Juru Bicara Presiden Dewan Eropa Donald Tusk menuturkan hasil voting di Parlemen Inggris kemarin meningkatkan risiko Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan. UE disebut akan mempertimbangkan permintaan dari Pemerintah Inggris untuk menunda Brexit, tetapi perlu ada alasan yang kredibel untuk memungkinkan perpanjangan waktu.
UE mengaku telah memainkan peran untuk membantu London mengurai kebuntuan di Parlemen dengan mencarikan solusi terbaik.
May pun telah mengatakan bahwa jika kesepakatannya ditolak, maka Parlemen akan memaksa Inggris untuk mempertahankan hubungan dengan UE atau dalam kata lain mengkhianati hasil referendum 2016.
Dia juga sudah mengupayakan untuk menarik dukungan dari para pendukung Brexit garis keras. Namun, ternyata mengandalkan mereka saja terbukti tidak cukup untuk memenangkan proposalnya di Parlemen.
Dengan hanya sisa 16 hari hingga jadwal kepergian Inggris, perdebatan masih tertahan pada isu yang sama selama setahun terakhir, yakni untuk memastikan tidak ada pengecekan kepabeanan di perbatasan darat antara Irlandia dengan Inggris.
Kebijakan yang juga dikenal dengan Irish backstop ini menjadi perhatian para politisi pro Brexit di Partai Konservatif, yang khawatir Inggris akan terjebak dalam rezim perdagangan UE untuk selamanya.