Bisnis.com, JAKARTA - Jaksa penuntut umum KPK menolak permohonan justice collaborator atau saksi yang bekerja sama dengan penegak hukum terhadap terdakwa sekaligus mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih terkait kasus suap proyek PLTU Riau-1.
Dalam sidang tuntutan terdakwa Eni, jaksa menilai bahwa Eni sebagai pelaku atau peran utama dalam perkara dengan menerima sejumlah uang suap dan gratifikasi.
"Berdasarkan pertimbangan di atas dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, maka permohonan [justice collaborator] tidak dapat dikabulkan," ujar jaksa KPK Lie Putra Setyawan saat membacakan surat tuntutan Eni di Pengadilan Tipikor, Rabu (6/2/2019).
Surat Edaran Mahkamah Agung No.4/2011 tersebut menyatakan bahwa syarat untuk menjadi justice collaborator adalah mengakui kejahatan, bukan pelaku utama, bersedia membantu membongkar kasus, serta bersedia mengembalikan aset-aset hasil dari korupsi yang dilakukannya.
Kendati demikian, jaksa menilai terdakwa Eni cukup kooperatif dalam menjalani proses persidangan dan membantu penuntut umum dalam hal perkara ini.
Namun, lanjut jaksa KPK, terdakwa selaku anggota Komisi VII DPR merupakan peran utama dalam perkara ini yaitu subjek hukum yang telah menerima uang secara bertahap
Baca Juga
Eni Maulani Saragih dituntut delapan tahun penjara oleh jaksa penuntut umum KPK terkait kasus PLTU Riau-1. Eni dianggap terbukti menerima suap Rp4,750 miliar dari pengusaha sekaligus pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd Johannes Budisutrisno Kotjo.
"Menuntut pidana penjara terhadap terdakwa Eni Maulani Saragih dengan pidana penjara selama 8 tahun, dan pidana denda Rp300 juta, subsider 4 bulan kurungan, pidana tambahan sejumlah uang pengganti Rp10,35 miliar dan 40 ribu dolar Singapura," ujar jaksa Lie.
Eni juga dituntut pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih jabatan publik selama 5 tahun seusai menjalani pidana pokok.
Menurut jaksa, Eni secara sah dan terbukti melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 B ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Jaksa menyebut uang suap tersebut diberikan dengan maksud agar Eni membantu atau mengawal Kotjo agar mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Sedianya, proyek itu akan ditangani PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dengan Blackgold Natural Resources Ltd (BNR) dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC Ltd). Kotjo merupakan pemilik BNR yang mengajak perusahaan asal China yaitu CHEC Ltd untuk menggarap proyek itu.
Menurut Jaksa, Eni mendapat perintah dari Idrus agar meminta uang kepada Kotjo untuk kepentingan Munaslub Partai Golkar. Eni pun mengirim pesan instan via WhatsApp kepada Kotjo berisi permintaan uang US$3 juta dan 400 ribu dolar Singapura.
Idrus Marham disebut mengarahkan terdakwa Eni untuk meminta uang sejumlah US$2,5 juta kepada Kotjo untuk keperluan Munaslub Partai Golkar.
"Penerima uang dari Kotjo dan sebagian sejumlah Rp2,25 miliar diterima bersama-sama Idrus Marham terlihat ada kerja sama perbuatan menerima sesuatu," ujar jaksa.
Selain itu, jaksa menyakini Eni bersalah menerima gratifikasi sebesar Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura. Uang itu diterima Eni dari sejumlah direktur dan pemilik perusahaan di bidang minyak dan gas.
Adapun perinciannya adalah Rp250 juta dari Direktur PT Smelting Prihadi Santoso, Rp100 juta dan 40 ribu dolar Singapura dari Direktur PT One Connect Indonesia (OCI) Herwin Tanuwidjaja, Rp 5 miliar dari pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal Samin Tan, dan Rp250 juta dari Presiden Direktur PT Isargas Iswan Ibrahim.
"Seluruh uang hasil penerimaan atau gratifikasi tersebut telah digunakan oleh terdakwa untuk membiayai kegiatan pilkada di Kabupaten Temanggung yang diikuti oleh suami terdakwa yaitu M. Al Khadziq serta untuk memenuhi kebutuhan pribadi terdakwa," ujar jaksa.