Bisnis.com, JAKARTA — Pidato Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj yang menjadi kontroversi dalam Harlah Muslimat NU, Minggu (27/1/2019) dinilai akibat dominannya ungkapan atau jargon internal khas NU dalam konteks pidatonya.
Hal ini dijelaskan oleh peneliti bahasa dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) Rahmat Petuguran kepada Bisnis, Selasa (29/1/2019).
Dosen yang rutin menjadi kolumnis rubrik bahasa berbagai media massa ini menjelaskan, petikan pidato Said Aqil di Gelora Bung Karno yang menyebut “Imam masjid, para khatib, KUA-KUA harus dari NU. Kalau bukan NU salah semua,” dan “Nanti banyak bidah nanti, kalau selain NU. Ini bidah ini, tari-tari sufi bidah ini.” jelas menjadi kontroversial bila dipisahkan dengan teks lain yang menyertai.
"Akibatnya, petikan itu seolah-olah bermakna jika posisi tersebut diisi oleh orang selain NU itu berarti salah," ujar Rahmat.
Padahal menurut Rahmat, petikan pada kalimat pertama tidak bisa dipisahkan dengan kalimat yang mengikutinya. Sebab, sebuah pidato pada dasarnya merupakan sebuah wacana utuh yang antarbagiannya saling terhubung, baik tema maupun gramatikalnya.
Oleh sebab itu, bila dua kalimat tersebut ditautkan, makna kalimat pertama menjadi berbeda. Rahmat berpendapat, makna yang ingin ditegaskan oleh Said Aqil sebenarnya pandangan umum NU yang selama ini cenderung toleran dengan berbagai ekspresi keagamaan.
“Tampaknya beliau ingin mengatakan, jika posisi tersebut diisi oleh selain NU, pihak-pihak yang mengisi posisi tersebut akan menyalahkan pihak lain, sehingga berbagai kegiatan keagamaan dinilai salah. Termasuk tari sufi,” lanjutnya.
Penulis buku Politik Bahasa Penguasa ini menguraikan, maksud sebuah teks selalu dipengaruhi oleh faktor internal teks maupun faktor eksternalnya. Dalam kasus tersebut, faktor internal berkaitan dengan hubungan bagian teks dengan teks lain yang mendahului dan menyertainya. Dalam ilmu bahasa, gejala tersebut disebut koteks (co-text).
“Baik dalam bentuk tulisan maupun lisan, sebuah kalimat selalu terhubung dengan preteks dan posteksnya. Kalau mau memahami maksud tuturan secara menyeluruh, kedua hal itu tidak boleh diabaikan,” lanjutnya.
Meski demikian, Rahmat mengkritik Said Aqil sebab kerap menggunakan jargon internal khas NU ketika menyampaikan pendapat di ruang publik. Jargon internal biasanya memiliki makna spesifik karena berkembang dan dipahami di komunitas yang homogen. Ketika jargon internal disampaikan kepada publik yang lebih beragam apalagi media massa, maksudnya cenderung lain.
Rahmat mencontohkan, dalam forum Nahdliyin, Said Aqil pernah membuat candaan dengan menyebut jenggot mengurangi kercerdasan. Ketika disampaikan di lingkungan homogen, Nahdliyin yang memang suka bercanda akan memahaminya sebagai humor. Tapi ketika pernyataan itu direproduksi di media, konteks humornya hilang.
Rahmat menilai, sebuah teks lazimnya terdiri dari tiga lapis makna, yaitu makna referensial, sosial, dan afektif. Sehingga, untuk memahami teks secara keseluruhan, makna-makna tersebut harus diperhatikan.
Sebab itulah dalam hal memahami pidato Said Aqil, masyarakat baiknya memperhatikan dan mencoba memahami "guyonan ala NU" yang sering dilontarkannya.
“Kalau mau memahami teks secara keseluruhan, lapis-lapis makna itu harus diperhatikan. Makna yang selama ini diperdebatkan adalah makna referensial yang bersifat permukaan. Padahal, di balik makna itu biasanya ada makna lain yang lebih substansial,” tutup Rahmat.
Peneliti Bahasa Ungkap Penyebab Kontroversi Said Aqil
Pidato Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj yang menjadi kontroversi dalam Harlah Muslimat NU, Minggu (27/1/2019).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Miftahul Ulum
Topik
Konten Premium