Bisnis.com, JAKARTA – Perdana Menteri Inggris Theresa May menolak referendum Brexit kedua dan mengklaim hal itu akan mengancam "kohesi sosial" Inggris dan berkukuh bahwa strateginya tetap menegosiasikan perubahan terkait masalah Irlandia.
Dengan hanya 67 hari tersisa sampai Inggris meninggalkan Uni Eropa, May mengecewakan anggota parlemen dan kelompok bisnis dengan menawarkan sedikit bukti bahwa dia bersedia mengubah arah perjanjian.
Berpidato di parlemen, May menguraikan tiga perubahan yang dia klaim telah muncul dari diskusi dengan rekan-rekannya dalam enam hari sejak kesepakatan Brexit-nya ditolak oleh anggota parlemen dengan margin kekalahan telak 230 suara.
Salah satunya adalah melakukan pertemuan dengan kalangan parlemen dan pebisnis utuk membuat perubahan penting soal kesepakatan dengan Uni Eropa. Namun, demikian May tetap menolak gagasan untuk berubah pikiran dan mengingatkan konsekuensi negatif dari referendum ulang sebagaimana dikutip Theguardian.com, Selasa (22/1/2019).
Seorang juru bicara May mengatakan: "Ada perjanjian antara pemilih dan pemerintah saat itu dan keyakinan tegas PM adalah bahwa tugas pemerintah adalah bertindak atas keinginan pemilih yang sudah dinyatakan dengan jelas.”
Hingga kini May tetap menghadapi penolakan baik dari anggota parlemen maupun sejumah pemuka masyarakat. Sedangkan sebagai menteri kabinet menudukung dilakukannya pemungutan suara ulang tersebut.
Baca Juga
Kalangan pebisnis mulai khawatir dengan perkembangan politik. Mereka menilai kurangnya pemikiran baru dalam pernyataan May.
Direktur Jenderal CBI, Carolyn Fairbairn, menyebutnya "hari suram lainnya untuk bisnis".