Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Adu Pengaruh AS dan China, Bagaimana Sikap Indonesia?

Rivalitas Amerika Serikat dan China tak hanya menyasar sektor ekonomi dan perdagangan, namun merambah pula ke pengaruh geopolitik ke kawasan Asia Tenggara. Perang dagang yang masih bergulir di antara keduanya dianggap oleh banyak pengamat sebagai bentuk baru perang dingin.
Presiden Joko Widodo (kiri) duduk berdampingan dengan Presiden China Xi Jinping saat melakukan dialog antara pimpinan negara ekonomi dengan APEC Business Advisory Council (ABAC) di Da Nang, Vietnam, Jumat (10/11)./ANTARA-Yusran Uccang
Presiden Joko Widodo (kiri) duduk berdampingan dengan Presiden China Xi Jinping saat melakukan dialog antara pimpinan negara ekonomi dengan APEC Business Advisory Council (ABAC) di Da Nang, Vietnam, Jumat (10/11)./ANTARA-Yusran Uccang

Bisnis.com, JAKARTA - Perang dagang yang masih bergulir di antara Amerika Serikat dan China dianggap oleh banyak pengamat sebagai bentuk baru perang dingin.

Genderang rivalitas antara dua kekuatan besar ekonomi, oleh banyak pengamat hubungan internasional, merupakan gejala fenomena yang lebih besar, yaitu usaha untuk menjadi negara adikuasa. Adu kekuatan tak lagi terbatas pada sektor ekonomi dan perdagangan, namun menjalar menjadi adu pengaruh ke sektor keamanan ke berbagai regional, termasuk Asia Tenggara.

Polarisasi antara AS dan China seolah meruntuhkan nilai-nilai multilateralisme yang telah dibangun negara dunia sejak akhir Perang Dunia II. Amerika Serikat yang mengedepankan kebijakan "American First" selama kepemimpinan Donald Trump misal, mengakibatkan banyak negara mempertanyakan apa sebenarnya esensi struktur internasional yang selama ini dipegang

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi, melalui pernyataan pers tahunannya beberapa waktu lalu sempat menyinggung hal ini.

Mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo kala menghadiri pertemuan IMF-World Bank, Menlu Retno mengatakan, "Konfrontasi dan perselisihan akan mengakibatkan penderitaan bukan hanya bagi yang kalah, tetapi juga bagi yang menang."

Ujaran tersebut seolah menjadi sinyal bahwa Indonesia, sebagaimana banyak negara lain di dunia, memilih untuk memegang nilai multilateralisme dengan mengedepankan kerja sama ketimbang memilih salah satu kekuatan.

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Andrew Mantong berpendapat langkah kebanyakan negara untuk bermain aman dilatarbelakangi oleh ketidakpastian kebijakan yang diperlihatkan oleh Amerika Serikat dan China. Namun secara struktural, potensi memihak itu tetap ada.

"Secara struktural mereka akan terdesak untuk memilih kubu, sesuai dengan kaidah perimbangan kekuatan. Tapi ada dua hal tak terduga yang harus dihadapi negara di dunia," papar Andrew di Jakarta, Selasa (15/1/2019).

Adu Pengaruh AS dan China, Bagaimana Sikap Indonesia?

Presiden Donald Trump, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo,  dan Presiden China Xi Jinping

 Andrew memaparkan bahwa selama ini banyak negara yang menilai polarisasi adalah dampak dari kebangkitan China secara ekonomi politik. Namun di sisi lain, hal ini dipengaruhi pula oleh orientasi Amerika Serikat yang lebih mengisolasi diri dan mengedepankan kepentingan nasional.

"Komitmen AS semakin dipertanyakan, hal ini dimulai pada masa Bush yang menggelorakan kebijakan melawan terorisme dan mengalihkan fokus geopolitik ke Timur Tengah. Sempat ada harapan kala Obama memimpin dengan kebijakan 'Pivot to Asia', namun saat Trump terpilih kebijakannya membingungkan bagi sejumlah negara Asia Tenggara," papar Andrew.

Andrew mengungkapkan fenomena ini sejalan dengan survei terbaru yang memperlihatkan bahwa China dan AS merupakan dua kekuatan yang paling tidak bisa diprediksi.

"Hal ini membuat negara di Asia Tenggara tidak punya pilihan. Contohnya Indonesia, jika ingin memihak ke Amerika Serikat, fokus geopolitiknya tidak cocok dengan kepentingan kita. Amerika Serikat selalu mengangkat isu nuklir, tapi bagi Indonesia hal tersebut tidak terlalu penting karena fokus keamanan Indonesia lebih ke arah pencegahan terorisme," ujar Andrew.

Pandangan Andrew senada dengan hasil survei terbaru yang dirilis oleh Asean Studies Center di ISEAS Yusof-Ishak Institute berjudul "The State of Southeast Asia: 2019". Survei yang dilakukan terhadap 1.008 responden dari kalangan pemerintah, akademisi, komunitas bisnis, kelompok sosial, dan komunitas media itu memperlihatkan bahwa 68,2% responden memandang pendekatan Amerika Serikat di Asia Tenggara menurun atau tak berlanjut selama kepemimpinan Trump.

Berkaitan dengan ekspansi ekonomi China di kawasan melalui Belt and Road Initiative (BRI), sekitar 70% responden menilai pemerintah harus berhati-hati agar tak terjebak utang dengan Negara Tirai Bambu.

Menanggapi hasil survei tersebut, peneliti Asean Studies Center di ISEAS, Moe Thuzar, mengatakan hasil survei tersebut menunjukkan negara Asia Tenggara cenderung bersikap berhati-hati tak hanya terhadap China, namun juga terhadap rivalitas dua kekuatan besar di kawasan tersebut.

“Saya tidak berpikir masyarakat Asia Tenggara atau Asean ingin berpihak, namun mereka menyadari bahwa kepentingan AS dan China di wilayah ini lebih pada tabrakan daripada persaingan,” sebut Thuzar, dilansir SCMP.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper