Kabar24.com, JAKARTA — Selama 4 tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masih menjadi pekerjaan rumah. Padahal masa pemerintahan Jokowi akan berakhir tahun depan.
Terkait dengan hal tersebut, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan semakin lama penyelidikan kasus-kasus HAM berat dilakukan maka semakin sulit barang bukti diperoleh.
Ahmad menyebut, para korban dan saksi atas peristiwa-peristiwa tersebut kini semakin tua dan banyak yang telah meninggal dunia.
“Makin lama diselesaikam maka makin sulit diselesaikan dan berakibat pada terabaikannya hak-hak dan pemulihan korban terutama perempuan dan anak-anak,” ujarnya dalam acara ’70 Tahun DUHAM dan Setelahnya: Menuju Pemajuan dan Penegakan HAM yang Lebih Baik di Kantor Komnas HAM, Selasa (11/12/2018).
Padahal, berkas-berkas kasus pelanggaran HAM berat telah diserahkan Komnas HAM kepada Jaksa Agung sejak awal tahun 2002. Pelanggaran HAM berat itu antara lain peristiwa 1965/1966, peristiwa penembakan misterius (Petrus) 1982-1985, peristiwa penghilangan paksa aktivis 1997-1998, peristiwa trisakti, Semanggi I dan II pada 1998, peristiwa Talangsari pada 1989, peristiwa kerusuhan Mei 1998, dan peristiwa Wasior Wamena 2000-2003.
Komnas HAM pun telah menambah tiga berkas pelanggaran HAM berat dari Aceh yakni kasus Jambu Kepok, kasus Simpang KKA dan yang paling akhir kasus Rumah Gedong yang diserahkan ke Jaksa Agung pada 2017-2018.
Komnas HAM menilai sampai saat ini belum ada langkah konkret dari Jaksa Agung untuk menindaklanjuti ke tahap penyidikan dan penuntutan. Padahal sudah diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Ketidakjelasan atas penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat tersebut dinilai sebagai bentuk dari pengingkaran atas keadilan.
Pemerintah melalui Kemenkopolhukam malah mewacanakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut dengan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang kemudian diubah menjadi Tim Gabungan Terpadu Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu, yang sebenarnya belum memiliki dasar hukum.
Dalam catatan Komnas HAM, mengacu Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, jika pemerintah mau menyelesaikan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu melalu mekanisme non judisial maka seharusnya dibuat terlebih dulu landasan hukumnya.
Semenjak UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi, maka jalan satu-satunya penyelesaian adalah melalui mekanisme judisial.
Dalam kesempatan tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan banyak peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak mudah untuk diungkapkan. Namun pemerintah selalu berusaha untuk menuntaskan masalah tersebut.
Pemerintah, lanjut dia, berharap terjadi rekonsiliasi terkait masalah-masalah pelanggaran HAM berat.
“Apa bila kita ingin menyelidiki betul-betul apa yang terjadi, sehingga terjadilah perdamaian, rekonsiliasi. Itu menjadi jalan keluar. Kita masih selalu mengingat apa yang dilakukan oleh Mandela. Forgive but not forget. Ini tentu juga satu bagian dari pada solusi menghadapi masalah HAM. Kita tidak melupakannya tapi tentu saling rekonsiliasi bagian dari pada juga untuk menyelesaikan soal,” ujarnya.
Sementara itu, dimintai komentarnya seusai acara tersebut Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan hal senada dengan Jusuf Kalla. Dia mengakui ada ketidakpuasan dari masyarakat karena penuntasan kasus HAM berat seperti berjalan di tempat.
Menurutnya, penyelesaian kasus tersebut tidak mudah karena sudah terjadi sejak lama. Kasus-kasus tersebut ibarat rangkaian puzzle yang harus disusun satu persatu. Kendati demikian dia memastikan bahawa pemerintah tetap berkomitmen menyelesaikan masalah itu dan tidak akan melepas tanggung jawab.
“Masalahnya Pak Jokowi kena residu masa lalu. Residu masa lalu yang tidak terselesaikan yang sudah sekian lama berkepanjangan sehingga ada yang putus, ada yang hilang, sehingga sekarang diterima residunya oleh Pak Jokowi. Masyarakat kan, yang penting tuntutan. Padahal situasinya enggak mudah,” ujarnya.