Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS mengutuk keras peristiwa pembunuhan terhadap puluhan warga sipil yang terjadi di Nduga, Papua
"Tidak ada alasan apapun yang membenarkan kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipil dalam konflik di Papua.," kata Koordinator KontraS Yati Andriani dalam keterangannya pada Rabu (5/12/2018).
Kelompok bersenjata diduga melakukan penembakan dan pembunuhan terhadap 31 warga sipil, pekerja PT Istaka Karya yang sedang membangun jembatan di Kali Yigi dan Kali Aurak, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua pada Ahad malam, 2 Desember lalu. Sebelum dibunuh, para korban disandera sejak Sabtu (1/12/2018) sore. Sejauh ini, diketahui ada 24 orang yang meninggal.
Menurut Yati, pembunuhan tersebut menjadi bagian tidak terpisahkan dari terus dipeliharanya rantai dan lingkaran kekerasan di tanah Papua. Ia menyebut warga sipil kerap menjadi target paling rentan dalam setiap aksi kekerasan, baik oleh aparat ataupun oleh kelompok bersenjata pro kemerdekaan.
"Selama ini tidak ada keseriusan dari Pemerintah untuk melanjutkan proses dialog dan menghentikan pendekatan keamanan dalam menangani konflik di Papua," kata Yati.
Lebih dari itu, menurut Yati, peristiwa ini juga menunjukan dengan jelas bahwa pendekatan pembangunan infrastruktur yang menjadi ambisi pemerintah di Papua tidak serta merta dapat memulihkan situasi keamanan dan menyelesaikan kekerasan di tanah Papua.
Baca Juga
"Karena persoalan di Papua tidak hanya sebatas persoalan ekonomi dan pembangunan," ujarnya.
Karena itu, Yati menyerukan kepada pemerintah dan seluruh pihak yang terlibat dalam konflik untuk menghentikan kekerasan dan serangan terhadap warga sipil serta memastikan pengungkapan dan penegakan hukum dalam kasus ini tetap dilakukan secara hati–hati dan proporsional.
Dan tidak menyasar apalagi menggunakan kekerasan terhadap warga sipil Papua yang kerap distigma sebagai pendukung kelompok separatis," kata Yati.
Menurut dia, cara–cara seperti itu seringkali terjadi dalam penanganan konflik di Papua sebelumnya yang berujung pelanggaran HAM dan memupuk mata rantai kekerasan. Pemerintah, kata Yati, perlu juga melakukan dialog yang serius dan menyeluruh mengenai berbagai persoalan ekspresi politik, kemiskinan dan ketidakadilan di Papua.