Bisnis.com, DENPASAR - Indonesia didorong meratifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control atau FCTC dalam tempo satu tahun untuk menjaga kesejahteraan perekonomian dan kesehatan masyarakat.
Seruan ini merupakan satu dari 12 resolusi Konferensi Pengendalian Tembakau Asia Pasifik atau APACT12th yang berlangsung di Nusa Dua.
Adapun hasil resolusi lainnya seperti mendesak negara di kawasan Asia Pasifik meningkatkan pajak penjualan, minimal 75% dari harga ritel produk tembakau, meminta badan pekerja dunia secepatnya memutus kerja sama dengan industri tembakau, seluruh negara diminta melarang display rokok di outlet ritel, pelarangan iklan rokok di media sosial.
Ketua Komite Nasional Pengendalian Tembakau Nafsiah Mboi menilai tidak ada yang mustahil, ratifikasi tersebut bisa dilakukan dalam tempo satu tahun. Meskipun sulit, karena berbagai rintangan, tetapi dia menyakini dengan semangat kerja sama hal tersebut bisa dilakukan.
“Semua memungkinkan [Indonesia meratifikasi dalam setahun]. Kita tidak tahu siapa presiden berikutnya atau presiden sekarang jika nanti terpilih akan berubah pikiran,” jelasnya di Nusa Dua, Sabtu (15/9/2018).
Mantan menkes di era SBY ini menegaskan bahwa pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat harus bekerja sama untuk menghadapi industri rokok yang sangat besar. Tidak akan berhasil upaya mengendalikan tembakau apabila pemerintah dan lembaga masyarakat justru terpecah belah.
Menurut Nafsiah, semua harus bersatu padu menghadapi kondisi sekarang.
Peserta Youth Camp APACT12th Beladenta Amalia mengakui sulit untuk menjawab apakah desakan Indonesia meratifikasi FCTC dalam setahun akan terlaksana. Diakuinya untuk mewujudkan hal tesebut tidak mudah, karena berbagai rintangan.
Sementara itu, perwakilan dari Vital Strategies Hong Kong Judith Mackay menilai perjuangan pengendalian tembakau maih jauh dari kata selesai. Dia menegaskan pengendalian tembakau harus tetap diperjuangkan, karena penyebab penyakit epidemik.
Judith menuding industri tembakau adalah ancaman terbesar bagi kesehatan publik.