Bisnis.com, JAKARTA - China disebut sebagai negara yang meraih kemenangan terbesar dari pertemuan puncak pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump di Singapura, 12 Juni 2018.
China sejak awal tidak menyukai kehadiran militer Amerika Serikat di Korea Selatan dan Jepang. China pulalah yang mendesak Washington menghentikan latihan perang di Semenanjung Korea yang diklaim Pyongyang sebagai provokasi untuk melakukan invasi ke negaranya.
Sebagai balasan jika Amerika Serikat menghentikan latihan perang di Semenanjung Korea, Korea Utara akan menghentikan aktivitas uji coba senjata nuklirnya. China juga sejak lama menginginkan pengurangan pasukan militer asing di wilayah Asia Timur Laut, untuk mengurangi jurang antara Washington dan sekutunya dan mitranya.
"Beijing sekarang di jalur tepat untuk meraih tujuan-tujuannya dengan mengeluarkan biaya sedikit," kata Ryan Hass, analis Kebijakan Cina untuk Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat di masa presiden Barack Obama, seperti dikutip dari The Korea Times, 13 Juni 2018.
Sebagai dukungan, China menyediakan pesawat terbangnya untuk membawa Kim Jong-un ke Singapura bertemu Donald Trump. Setelah pertemuan ini, Beijing akan secara bijak memainkan pengaruhnya terhadap Pyongyang setelah merasa tak lagi terisolasi setelah Trump memujinya sebagai pria yang sangat berbakat.
Trump juga menjanjikan penghentian latihan militer bersama di Semenanjung Korea.
Marah
Menurut Paul Haenle, mantan dDrektur Cina di Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih di masa pemerintahan Obama dan George W. Bush, China akan sangat marah jika penundaan latihan militer akan mengarah pada pemulihan hubungan yang lebih luas antara Amerika Serikat dan Korea Utara.
Mengapa? Karena China yang bertempur melawan Amerika Serikat saat Perang Korea 1950-1953 menginginkan stabilitas, di mana kemerdekaan Korea Utara dijadikan sebagai penyanggah atas Korea Selatan dan ribuan tentara Amerika Serikat yang ditempatkan di Korea Selatan.
Beijing juga berharap dapat menyakinkan Seoul untuk mencabut sistem pertahanan rudal Amerika Serikat yang ditempatkan di negara itu karena China melihatnya sebagai ancaman atas keamanannya.
Jaga Jarak
China, menurut Haenle, juga sangat sadar bahwa Pyongyang kemungkinan setelah pertemuan puncak ini berusaha menjaga jarak dengan China sehingga China tidak memiliki pengaruh seperti yang terjadi saat ini. Namun, ketergantungan Korea Utara dalam jangka panjang dan rasa percayanya pada Cina selama ini tidak mudah untuk dicederai.
"Terbang ke Singapura untuk pertemuan puncak dengan Air China menunjukkan untuk hal yang lebih luas, kepercayaan Korea Utara pada Cina," kata Cheng Xiaohe, associate profesor di Sekolah Studi Internasional Universitas Renmin di Beijing.
Pesawat Air China
Kim Jong-un terbang dengan menggunakan pesawat Air China Boing 747 menuju Singapura untuk menghadiri pertemuan puncak dengan Presiden Trump pada 12 Juni lalu.
Menurut Cheng, Pyongyang juga membutuhkan bantuan China jika ingin mendorong reformasi pasar seperti yang diperkenalkan oleh Bapak modernisasi Cina, Deng Xiaoping.
Kim Jong-un pernah melontarkan keinginannya untuk mencontoh reformasi ekonomi ala Deng Xiaoping.
China pun sudah menyatakan keinginannya untuk mencabut sanksi terhadap Korea Utara sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB setelah pertemuan Kim Jong-un dan Presiden Trump di Singapura. Ini artinya, Beijing segera akan memberikan bantuan untuk melobi agar sanksi terhadap Pyongyang dihapus.
Namun, menurut Kim Dong-gil, direktur Pusat Semenanjung Korea di Universitas Peking, China tidak akan melakukan langkah pencabutan sanksi tanpa persetujuan Amerika Serikat terlebih dahulu. China tak ingin merusak dialog yang terjadi antara Korea Utara dan Amerika Serikat.