Bisnis.com, JAKARTA--- Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengklaim UU terorisme baru atau revisi UU No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tetap menghargai nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).
Pernyataan itu disampaikan oleh Tito dalam konferensi pers usai rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, pada Selasa (22/5/2018) yang membahas mengenai penanganan dan pencegahan terorisme.
"Dengan undang-undang baru kita harapkan penanganan bisa komprehensif dengan melibatkan banyak pihak tapi tetap menghargai nilai-nilai demokrasi tetap menghargai nilai-nilai HAM dan lain-lain," katanya.
Tito mengatakan kepolisian mengharapkan revisi UU No.15/2003 dapat "cepat dilaksanakan" sehingga penanganan terorisme akan lebih komprehensif. UU lama dianggap belum komprehensif dan lebih banyak digunakan untuk mengungkap kasus bom Bali.
"Aksi terorisme adalah puncak gunung es sementara akar gunung es meliputi permasalahan-permasalahan komprehensif meliputi ekonomi, ideologi, keadilan, ketidakpuasan, ini yang perlu ditangani," kata Tito.
Tito mengatakan aksi terorisme di Surabaya tidak terjadi begitu saja melainkan membutuhkan proses yang cukup panjang.
Baca Juga
Sebagai gambaran, Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas membahas mengenai penanganan dan pencegahan terorisme di Kantor Presiden, Jakarta. Rapat tersebut digelar menyusul adanya serangkaian aksi bom bunuh diri berlangsung di sejumlah kota di Indonesia pada Mei 2018.
Presiden menginstruksikan jajarannya untuk membersihkan sekolah dari tingkat TK sampai perguruan tinggi, ruang publik sampai mimbar umum dari ajaran dan ideologi terorisme.
Presiden mengatakan pencegahan dan penanggulangan terorisme selama ini lebih banyak dilakukan dengan pendekatan hard power.
Pendekatan hard power yang dimaksud Presiden adalah mengedepankan tindakan pencegahan sebelum aksi teror dilakukan dengan penegakan hukum yang tegas, keras dan tanpa kompromi dengan memburu dan membongkar jaringan teroris sampai ke akar-akarnya.
Pendekatan hard power, ujar Jokowi, jelas sangat diperlukan tapi belum cukup. Dengan demikian, sudah saatnya pemerintah menyeimbangkan pendekatan itu dengan pendekatan soft power.
"Saya minta pendekatan soft power yang kita lakukan bukan hanya dengan memperkuat program deradikalisasi kepada mantan napi teroris tapi juga membersihkan lembaga-lembaga mulai dari TK, SD, SMP, SMA, SMK dan perguruan tinggi dan ruang-ruang publik, mimbar-mimbar umum dari ajaran ideologi terorisme," kata Presiden dalam rapat terbatas resmi pertama setelah serangkaian aksi teror yang melanda berbagai kota di Indonesia sepanjang Mei 2018.
Presiden mengatakan langkah preventif atau langkah pencegahan ini menjadi penting apabila kita melihat serangan teror bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo yang melibatkan keluarga termasuk anak-anak di bawah umur dan perempuan. Presiden mengatakan serangan yang melibatkan keluarga itu menjadi peringatan dan wake-up call bahwa keluarga telah menjadi indoktrinasi ideologi terorisme.
"Sekali lagi saya ingatkan ideologi terorisme telah masuk kepada keluarga kita, ke sekolah-sekolah kita, untuk itu saya minta pendekatan hard power dan soft power dipadukan, diseimbangkan dan saling menguatkan sehingga aksi pencegahan dan penanggulangan terorisme bisa jauh lebih efektif lagi," katanya.