Bisnis.com, JAKARTA - Dokter Bimanesh kembali menjalani sidang perkara perintangan penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus korupsi e-KTP oleh mantan Ketua DPR Setya Novanto pada Jumat (11/5/2018) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi ahli pidana yang juga merupakan dosen tetap fakultas hukum Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto, Noor Aziz (64), dalam persidangan.
Pada persidangan sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Takdir Subhan mengatakan dr. Bimanesh Sutarjo bersama-sama dengan mantan kuasa hukum Setya Novanto, Frederich Yunadi, melakukan persekongkolan agar Setya Novanto dirawat di Rumah Sakit Medika Permata Hijau pada 16 November 2017
Berdasarkan fakta persidangan, diketahui bahwa dr. Bimanesh menyanggupi permintaan Frederich Yunadi agar Setya Novanto dirawat di RS Medika Permata Hijau kendati terdakwa mengetahui Setya Novanto sedang bermasalah dengan hukum terkait dengan korupsi e-KTP.
Aksi tersebut, oleh Subhan dikatakan sebagai perbuatan dengan sengaja mencegah, merintangi, dan menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang Pengadilan tersangka, terdakwa, atau pun saksi kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto, seperti yang tertera dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Korupsi.
Namun, pada persidangan Jumat (11/5/2018) muncul wacana apakah terdakwa dr. Bimanesh merupakan pelaku perintangan penyidikan sesuai dengan Pasal 55, atau kedudukannya hanya sebatas membantu pelaku seperti seperti yang tertera dalam Pasal 56.
Saksi ahli pidana hukum materiil Noor Aziz menjelaskan wacana tersebut di atas dapat ditentukan berdasar pada ada atau tidaknya kualitas dari seseorang, dalam hal ini terdakwa, untuk dianggap sebagai pelaku.
"Seseorang dapat dikatakan punya kualitas adalah jika yang bersangkutan memiliki kapasitas untuk memberi keterangan serta sadar akan perbuatannya, meskipun dia hanya satpam," jelas Noor Aziz Said.
"Apabila tidak memiliki kualitas sebagai pelaku, maka kedudukan orang tersebut hanya terbatas sebagai pembantu pelaku dan akan dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 56," lanjutnya.
Terkait dengan dr. Bimanesh, Noor Aziz mengatakan apabila ada bukti bahwa terdakwa dipaksa, berarti yang bersangkutan punya alasan untuk dimaafkan secara hukum.
Pendidikan dan gelar, lanjutnya, hanya dianggap sebagai pemberat, kecuali yang bersangkutan benar-benar dalam keadaan mengalami ketersesatan hukum.
Namun, dalam hal ini Noor Aziz menyatakan bahwa ketidaktahuan yang menyebabkan ketersesatan hanya dapat dimaafkan secara hukum apabila pelanggaran yang dilakukan merupakan pelanggaran ringan.
"Ingat, pelanggaran! Bukan kejahatan," tegas Noor.
Saksi pun menjelaskan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 21 merupakan suatu tindak kejahatan.