Bisnis.com, JAKARTA - Setya Novanto terancam hukuman penjara selama 16 tahun dalam perkara korupsi pengadaan KTP elektronik. Bagaimana cerita awal sepak terjangnya dalam pusaran kasus ini?
Semua itu bermula dari permintaan Andi Agustinus alias Andi Narogong untuk menemui para petinggi Kementerian Dalam Negeri di Hotel Gran Melia, Jakarta Selatan. Dalam pertemuan itu, Setya Novanto bersua dengan Diah Anggaraini, Sekjen Kemendagri, Irman, Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil serta Sugiarto direktur pada Ditjen tersebut yang kemudian menjadi pejabat pembuat komitmen (PPK) tender.
Dalam pertemuan pada 2010 itu, Setya Novanto menyatakan dukungannya terhadap pelaksanaan proyek yang skema pembiayaannya diubah dari pinjaman luar negeri menjadi rupiah murni dari APBN.
Beberapa hari setelah itu, Novanto kembali bersua dengan Irman di ruang kerjanya, ditemani Andi Agustinus. Dalam pertemuan itu Setya Novanto menyatakan bahwa persetujuan penganggaran tengah dia koordinasikan dengan para anggota DPR.
Dua pertemuan itulah yang menjadi awal mula terseretnya Setya Novanto dalam pusaran korupsi yang merugikan keuangan negara hingga Rp2,3 triliun. Mantan Ketua DPR tersebut mengaku menyesal telah menghadiri pertemuan pertama di Hotel Gran Melia.
“Di sinilah letak ketidakhati-hatian saya. Seandainya saya tidak memenuhi permintaan pertemuan, saya tidak akan terseret ke dalam permasalahan ini,” ujarnya dalam sidang dengan agenda pledoi, Jumat (13/4/2018).
Dalam nota tuntutan yang dibacakan jaksa dua pekan silam, pertemuan di Hotel Gran Melia tersebut menjadi pertemuan berbagai kepentingan para pihak yang terjerat korupsi mulai dari pihak Kemendagri yang ingin agar proyek ini berjalan, pengusaha Andi Agustinus yang ingin terlibat dalam proyek tersebut, serta Setya Novanto selaku wakil rakyat.
Setelah dua pertemuan itu, Setya Novanto sering bersua dengan Andi Agustinus serta para pengusaha lainnya. Bahkan, Novanto pun pernah mengundang para vendor untuk membicarakan soal harga chip kartu identitas.
Di hadapan majelis hakim, Setya Novanto mengatakan bahwa dia memang mendengar ada informasi bagi-bagi uang ke Senayan selama proses penganggaran dan pelaksanaan serta evaluasi pogram identitas tunggal. Akan tetapi, semua terjadi tanpa dia ketahui sebelumnya sehingga dia menolak bertanggung jawab.
Dua pekan silam, Setya Novanto menghadapi tuntutan hukuman penjara selama 16 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.
“Terdakwa juga dituntut pidana tambahan dendan sebesar US$7,4 juta dengan memperhitungkan pengembalian uang Rp5 miliar. Jika dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap terdakwa tidak membayar, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk negara. Jika tidak memiliki harta benda maka terdakwa menjalani pidana selama tiga tahun,” ujar penuntut umum.
Tidak hanya itu, dia juga dituntut pencabutan hak politiknya selama lima tahun terhitung setelah menyelesaikan masa pemidanaan. Pencabutan hak politik ini dikarenakan dia merupakan seorang wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat namun mencederai kepercayaan pemilih dengan melakukan tindakkan koruptif.
Setya Novanto pun dianggap tidak pantas memperoleh status justice collabolator karena dalam persidangan tidak kooperatif dan mengakui perbuatan koruptifnya meski awalnya status tersebut diajukan olehnya.