Kabar24.com, JAKARTA — Ekses negatif pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat dipandang masih bisa dikurangi ketimbang bereaksi dengan mengembalikan pemilihan lewat dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD).
Ketua Umum Majelis Sinergi Kalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengakui bahwa sistem pilkada langsung masih memiliki ekses buruk akibat biaya politik tinggi. Namun, elite politik bisa berperan menurunkan atau bahkan meniadakan politik biaya tinggi tersebut.
“Pragmatisme politik harus direduksi. Bagaimana misalnya elite tak take and give,” katanya di sela-sela peluncuran buku Intelijen dan Pilkada: Pendekatan Strategis Menghadapi Dinamika Pemilu di Jakarta, Selasa (3/4/2018).
Di samping politik uang, Ferry menilai kualitas pilkada perlu ditingkatkan baik oleh penyelenggara pemilihan, kontestan, maupun pemilih. Rakyat harus terus didorong untuk menggunakan hak suara mereka sebagai sarana mendapatkan kepala daerah terbaik.
“Banyak hal yang harus ditempuh bersama untuk perbaikan. Kalau ini diatasi tak perlu ada pilkada lewat DPRD,” ujar mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini.
Pernyataan itu merupakan tanggapan atas usulan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Mahfud M.D. agar mekanisme pemilihan langsung diganti. Menurut Mahfud, tidak ada problematika konstitusional bila kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Baca Juga
“UUD 1945 hanya manyatakan kepala daerah dipilih secara demokratis. Beda dengan memilih presiden yang harus langsung,” tuturnya di tempat yang sama.
Mahfud mengenang ketika menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012 pernah mengusulkan pilkada lewat DPRD kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Dua tahun kemudian, usul itu diakomodasi dalam UU No. 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Namun, beleid itu langsung diamandemen lewat peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) oleh Presiden SBY menjelang akhir kekuasaannya. Menurut Mahfud, sikap pemerintah kala itu didasari kekhawatiran bahwa DPRD dikuasai oleh kubu Koalisi Merah Putih (KMP)—kelompok partai politik pengusung Calon Presiden Prabowo Subianto. Dengan rerata gabungan 60% kursi di DPRD seluruh Indonesia, mayoritas kontestasi pilkada diyakini akan dimenangi oleh kubu KMP.
Mahfud mengakui bahwa pilkada lewat DPRD juga memiliki ekses negatif seperti dalam pilkada langsung. Bedanya, kata Mahfud, ekses negatif pilkada tak langsung dapat dilokalisasi pada puluhan atau ratusan anggota DPRD sehingga pengawasannya lebih mudah.
“Kalau pilkada langsung seluruh rakyat rusak. Kalau di DPRD kerusakannya terbatas,” ujar mantan Menteri Pertahanan ini.