Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dinilai belum mampu melindungi perempuan pekerja migran. Alasannya, sederet regulasi yang dibuat pemerintah dan juga kesepakatan multilateral terkait ketenagakerjaan belum mampu melindungi mereka yang dijuluki pahlawan devisa. Kematian Adelina Jamirah Sau baru-baru ini adalah faktanya.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy mengatakan, perlindungan untuk perempuan pekerja migran masih belum maksimal. Padahal remitansi yang mereka hasilkan mampu menggerakkan perekonomian dan membawa manfaat untuk anggota keluarganya. Imelda mengatakan, pemerintah perlu membuat kebijakan yang mengedepankan sensitivitas gender dan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM).
“Kebijakan yang mengedepankan sensitivitas gender dan berbasis HAM harus dimulai dari pendaftaran, perekrutan, pelatihan, pemberangkatan hingga penempatan. Kebijakan ini idealnya memberikan kemudahan sekaligus perlindungan terhadap pekerja migran perempuan. Yang terjadi saat ini, para calon pekerja migran sangat rentan terhadap berbagai tindak criminal dan kekerasan serta minim edukasi mengenai hak dan kewajiban mereka sebagai pekerja,” jelas Imelda dalam siaran persnya.
Selain itu, regulasi yang dibuat pun harus mempromosikan gender-equality. Hal ini diperlukan agar para pekerja migran perempuan tidak mengalami diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan karena identitasnya sebagai perempuan.
Perlindungan lainnya yang dapat diberikan kepada para pekerja migran perempuan di luar negeri adalah dibentuknya program konseling atau mentoring di setiap negara tempat para pekerja migran ditempatkan. Dengan adanya program ini, diharapkan para pekerja migran perempuan bisa mendapatkan solusi atas masalah yang dialaminya sedini mungkin. Dengan begitu, pihak Kedutaan Besar juga bisa melakukan pemetaan dan mendapatkan informasi mengenai para pekerja migran perempuan.
“Kalau jadi diberlakukan, sosialisasi terhadap kebijakan dan juga program konseling atau mentoring juga harus dilakukan kepada pihak yang mempekerjakan mereka. Sehingga para perempuan pekerja migran bisa mendapatkan haknya akan edukasi dan informasi,” terang Imelda.
Berdasarkan data Migrant Care, kematian Adelina menambah panjang daftar pekerja migran yang meninggal dari 2013 hingga Februari 2018. Hingga saat ini, jumlahnya sudah mencapai 192 orang. Berdasarkan data dari BNP2TKI, antara 2011 hingga Januari 2018, sebanyak 60% pekerja migran yang ditempatkan di luar negeri adalah perempuan.
Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret diharapkan bisa menjadi momentum perubahan bagi para perempuan di dunia. Perempuan masih sering menjadi objek dari tindak kekerasan, tindak kriminal dan pihak yang dirugikan bersama dengan anak-anak dalam situasi tertentu, seperti perang, pelecehan seksual dan perdagangan manusia.