Kabar24.com, JAKARTA – Pemerintah Amerika Serikat (AS) terus menerapkan sanksi baru terhadap Korea Utara sehubungan dengan program nuklirnya. Namun ini tidak mengubah perilaku pemimpin Korut Kim Jong Un. Mengapa?
Rahasia mengejutkan di balik sikap keras kepala Pyongyang ternyata adalah keterampilannya memanfaatkan cryptocurrency (mata uang digital).
Lima hari yang lalu, AS memberi sanksi kepada puluhan kapal, perusahaan pelayaran, dan perusahaan lain yang diduga membantu Pyongyang mendanai program nuklir dan rudalnya.
Langkah itu merupakan bagian dari strategi AS untuk mengurangi sumber pendanaan Korea Utara yang akan digunakan untuk mengembangkan persenjataannya.
Sanksi ini dilancarkan begitu kerasnya dengan maksud agar Pyongyang mau membuka negosiasi mengenai program tersebut.
Masalahnya adalah, Korea Utara mampu menyingkirkan dampak pembatasan-pembatasan finansial dengan cryptocurrency, seperti diungkapkan Priscilla Moriuchi, seorang mantan pejabat National Security Agency (NSA) yang bertugas mengawasi ancaman siber dari Asia Timur.
Cryptocurrency disebut berguna bagi Korea Utara karena tidak memiliki banyak persyaratan identitas. Mata uang ini diketahui sangat fokus pada anonimitas bagi penggunanya.
Menurut Moriuchi, alasan semacam itu menjadikannya platform yang sempurna untuk negara-negara seperti Korea Utara, yang cukup terisolasi dari sistem keuangan internasional. Korut menggunakan bentuk perdagangan baru ini yang masih jauh di luar kendali peraturan negara-negara.
Dalam melakukan operasinya, Korut diketahui membangun jaringan basis operasional di negara-negara asing.
“Salah satu hal yang kami ketahui dari kesaksian pembelot, misalnya, adalah Korea Utara telah membangun jaringan basis operasional di negara-negara asing di mana mereka menjalankan operasi siber,” lanjut Moriuchi.
Negara-negara yang dimaksud di antaranya adalah China dan beberapa di Asia Tenggara.
“Kami telah melihat banyak aktivitas Korea Utara di negara-negara seperti India, Malaysia, Filipina, dan kami yakin ada basis-basis operasional di beberapa negara tersebut. Namun kami belum mendpaatkan detailnya,” lanjut Moriuchi.
Operator siber Korea Utara yang dikirimkan ke basis-basis operasi asing ini memiliki dua pekerjaan, yakni untuk melakukan operasi yang diperintahkan rezim Korea Utara dan untuk mendapatkan uang.
Mayoritas uang itu, sekitar 80%-90%, dikirimkan kembali ke Pyongyang, dan hanya sejumlah kecil yang disimpan oleh operator tersebut.
Meski belum diketahui pasti besarnya operasi cryptocurrency Korut, Moriuchi menginformasikan adanya operasi penambangan bitcoin berskala kecil oleh Korut musim panas lalu. “Namun tidak berskala level pabrik seperti yang kadang kita lihat di, contohnya China dan Rusia.”
Korea Utara disebut dapat menghasilkan antara US$15 juta-US$200 juta dengan menciptakan dan menjual cryptocurrency untuk kemudian mengubahnya menjadi uang tunai.
Mungkin uang yang dihasilkan Korut dari cryptocurrency tidak cukup untuk sepenuhnya mendanai program persenjataannya, namun setidaknya cukup untuk memastikan aktivitasnya tetap bertahan.
Jadi meskipun banyak sanksi yang dilancarkan untuk merugikan ekonomi Korea Utara secara fisik, saat ini tidak banyak cara yang dapat mengekang ekonomi digital Pyongyang yang sedang berkembang.
Ini berarti Korea Utara memiliki kemampuan yang lebih besar untuk mempertahankan program nuklirnya tetap berjalan daripada yang mungkin kita pikirkan.
“Saya mau bertaruh koin-koin ini (cryptocurrency) diubah menjadi sesuatu, mata uang ataupun barang-barang fisik, yang mendukung program nuklir dan rudal balistik Korea Utara,” tambah Moriuchi, seperti dikutip CNBC, Kamis (1/3/2018).