Bisnis.com, JAKARTA – Akses partisipasi politik bagi perempuan dinilai masih setengah hati. Padahal, perempuan mampu menghasilkan kebijakan yang responsif gender.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengungkapkan bahwa perempuan dan pemilu/pilkada menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan.
“Persoalannya, pemilu sebagai intermediary instrument yang menghubungkan perempuan dengan negara belum sepenuhnya memberikan akses bagi partisipasi politik perempuan,” ujarnya, seperti dikutip dari laman resmi Kementerian PPPA, Selasa (30/1/2018).
Menurutnya, Undang-Undang tentang Pilkada pun belum sepenuhnya mengadopsi affirmative action. Padahal, sambungnya, ada beberapa alasan pentingnya memberikan kuota untuk perempuan di parlemen.
Pertama, menawarkan model peran keberhasilan politisi perempuan menurut prinsip keadilan bagi laki-laki dan perempuan. Kedua, mengidentifikasi kepentingan-kepentingan khusus perempuan.
Ketiga, menekankan adanya perbedaan hubungan perempuan dengan politik sekaligus menunjukkan kehadirannya dalam meningkatkan kualitas perpolitikan.
Walaupun demikian, pihaknya mengakui jumlah perempuan yang maju menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mengalami peningkatan setiap tahunnya. Angka kemenangan perempuan di Pilkada serentak 2015 dan 2017 di atas 37,1%.
Meskipun tingkat pencalonan dan keterpilihan perempuan dalam pilkada serentak 2015 dan 2017 cukup baik, langkah konkret guna meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik dan pembangunan tetap diperlukan.