Kabar24.com, JAKARTA - Turut bertarungnya sejumlah jenderal dalam pemilihan kepala daerah dianggap sebagai kegagalan kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago menilai ada kegagalan sistem kaderisasi partai politik dengan mengusung para jenderal TNI/Polri ini untuk turun di pilkada. Karena ketidakmampuan otoritas sipil untuk memerintah secara efektif.
“Ada tren partai mengambil jalan pintas yaitu mencoba menarik jenderal ke gelanggang politik, terkesan partai tak percaya diri mengusung kadernya sendiri. Ambisi bintang TNI/Polri di Pilkada semakin menguat akhir-akhir ini di saat partai gagal melakukan kaderisasi,” katanya, Minggu (7/1/2018).
Dia mengatakan, dengan terjunnya para jenderal ke politik praktis, ada fenomena parpol lebih menonjolkan figur dibandingkan dengan kader partai sendiri.
Parpol lalu memprioritaskan figur eksternal atau melakukan outsourcing politik dengan mengusung jenderal TNI dan Polri ketimbang mengusung kader dari rahim parpol itu sendiri.
Menurutnya, ada konsekuensi logis dari keputusan mengambil atau mengusung calon kepala daerah yang bukan kader partai.
Baca Juga
Pertama, lebih sangat sulit mengontrol dan mengawasi kepala daerah eksternal yang bukan kadernya dibandingkan kader partai.
Kedua, tentu lebih besar potensi kutu loncat atau lompat pagar kader eksternal.
“Demokrasi memberi peluang bagi setiap warga negara untuk ikut berkontestasi. Saya tidak memperkarakan purnawirawan atau TNI dan Polri yang sudah pensiun, karena mereka adalah warga negara biasa, dan punya hak memilih dan dipilih. Namun yang jadi soal adalah TNI dan Polri masih aktif. Mereka belum wajib pensiun karena belum terdaftar sebagai pasangan calon, namun sudah berselancar dengan melakukan manuver politik dan curi start kampanye terselubung dengan memakai seragam prajurit. Yang tak boleh adalah menggunakan jejaring institusi militernya untuk dijadikan sebagai komoditas politik pemenangan,” tegasnya.
Sejarah keterkaitan militer dalam demokrasi menurutnya bukan baru kali ini terjadi. Di era orde lama, ada tiga kutub kekuatan yang menjadi pilar demokrasi Indonesia yakni Soekarno, PKI dan Angkatan Darat.
Saat kekuatan politik Soekarno dan PKI melemah, muncul kekuatan pemenang yaitu angkatan darat.
Sejak itu, lanjutnya, militer mulai berpolitik praktis lewat kendaraan sekber Golkar, tidak mengaku sebagai partai politik namun mendukung pemerintah. Mesin Golkar pada waktu itu digerakkan para jenderal.
Oleh karena itu, berbicara sistem politik Indonesia tidak bisa lepas dari peran militer dalam kancah politik itu sendiri.
“Sekali lagi partai politik jangan coba-coba bermain mata dengan prajurit aktif, menarik-narik dan menggoda TNI untuk masuk ke gelanggang politik. Termasuk tidak menarik-narik, menggoda atau merayu-rayu Aparatur Sipil Negara, ASN, ke ranah politik praktis. Ini pertaruhan yang maha berbahaya dan tidak main-main. Bagaimana kita menjaga dan mengingatkan kembali agar TNI/Polri dan ASN menjaga netralitas. Ciri-ciri keterlibatan militer dalam politik patut kita curigai,” pungkasnya.