Kabar24.com JAKARTA - Masyarakat dinilai lengah terhadap penyakit difteri akibat kurangnya pengetahuan. Pada saat yang sama, masih banyak kelompok masyarakat yang kontra dengan vaksin difteri.
Data terbaru dari IDI (Ikatan Dokter Indonesia) melaporkan difteri terjadi di 142 kota/kabupaten, 600 kasus, dan 38 di antaranya meninggal dunia.
Spesialis anak Hindra Irawan Satari mengatakan difteri adalah penyakit kuno dan sudah ditemukan sejak abad 5 SM.
Pada abad ke-6, difteri pernah menjadi epidemik di seluruh dunia. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukan vaksin, difteri mulai menghilang.
“Masyarakat sudah lengah, karena menyangka penyakit ini sudah tidak ada. Kalau ktia tidak waspada, terjadilah kasus difteri seperti sekarang ini,” kata Hindra pada Selasa (19/12/2017).
Sementara itu, vaksin difteri sudah digunakan di Amerika Serikat sejak 1890. “Jadi, vaksin bukan barang baru. Lalu kenapa sekarang jadi takut divaksin,” ujarnya.
Untuk menetralisir racun yang sudah beredar, diberikan anti toksin. Namun, bila toksin sudah menempel di jantung, hanya bisa menunggu tubuh menetralisir. Kalau tubuh gagal melakukannya, detak jantung bisa terganggu dan kematian bisa terjadi.
Cakupan vaksin difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) secara nasional memang tinggi.
Namun, bila dilihat per kabupaten, per kecamatan dan per kelurahan, ada kantong-kantong yang cakupannya sangat rendah. Inilah yang menyebabkan kasus difteri kembali merebak bahkan meledak.
Difteri mulai muncul lagi sejak 9 tahun lalu di Jawa Timur. Penyakit ini tidak datang tiba-tiba dan sudah ada lampu kuning sejak lama. Untuk itu, masyarakat harus menyadari bahwa difteri tidak cukup dengan imunisasi dasar.
“Kekebalan ada masanya, sehingga harus diulang. Setelah 3 dosis imunisasi dasar saat bayi, perlu dilakukan booster di usia 18-24 bulan, 5 tahun dan 10 tahun. Setelah itu, idealnya vaksin lagi tiap tahun,” tambahnya.
Untuk orang dewasa, bisa mendapat vaksin Td (tetanus-difteri) di sektor swasta. Vaksin juga bisa diberikan pada ibu hamil.