Kabar24.com, JAKARTA - Kekerasan di Myanmar terhadap Muslim Rohingya menimbulkan korban tewas yang tidak sedikit.
Menurut badan sosial Medecins Sans Frontieres (MSF), sedikitnya 6.700 umat Muslim Rohingya tewas setelah maraknya kekerasan di Myanmar pada Agustus lalu,
Jumlah korban yang didasarkan pada survei terhadap pengungsi di Bangladesh itu jauh lebih tinggi dari angka resmi 400 jiwa yang dikeluarkan pemerintah Myanmar.
MSF mengatakan korban yang mencapai ribuan itu merupakan 'indikasi terjelas sejauh ini tentang meluasnya kekerasan' oleh pihak berwenang Myanmar. Akan tetapi militer Myanmar membantah dan menuding kekerasan dilakukan oleh 'teroris'.
Sejak serangan atas sejumlah pos polisi oleh kelompok militan Rohingya, Agustus lalu, sekitar 647.000 orang Rohingya, berdasarkan perkiraan MSF, mengungsi ke Bangladesh untuk menghindari aksi kekerasan oleh aparat keamanan Myanmar maupun kelompok nasionalis Budha.
Menurut MSF, temuannya memperlihatkan sedikitnya 9.000 umat Muslim Rohingya tewas di Myanmar dalam periode 25 Agustus hingga 24 September.
Baca Juga
"Dengan perkiraan yang paling konservatif, sedikitnya 6.700 dari korban yang tewas itu diakibatkan kekerasan, termasuk 730 anak-anak berusia di bawah lima tahun," demikian pernyataan MSF sebagaimana dikutip BBC.com, Jumat (15/12/2017).
Militer Myanmar menggelar operasi keamanan setelah kelompok militan Rohingya, ARSA menyerang lebih dari 30 pos polisi. Namun, militer Myanmar membantah membunuh warga sipil, membakar kampung-kampung Rohingya, maupun memperkosa perempauan Rohingya dan dan mencuri harta bendanya.
"Yang kami temukan itu mengejutkan, baik dari sisi jumlah orang yang dilaporkan anggota keluarganya meninggal akibat kekerasan dan juga dari laporan tentang mengerikannya cara korban tewas atau yang luka parah itu," kata Direktur Medis MSF, Sidney Wong.
Wong menambahkan jumlah yang tewas itu 'kemungkinan perkiraan yang rendah karena survei tidak melibatkan semua pengungsi yang berada di Bangladesh'.
Selain itu, survei juga tidak dilakukan atas keluarga Rohingya yang tidak berhasil mengungsi ke luar dari Myanmar.
Muslim Rohingya, yang sebagian besar tinggal di negara bagian Rakhine, tidak pernah diakui sebagai warga negara Myanmar karena dianggap sebagai pendatang gelap dari Bangladesh.
Pemerintah Myanmar juga tidak pernah menyebut mereka sebagai Rohingya namun Muslim Benggali.
Dalam kunjungan Paus Fransiskus akhir November lalu ke Myanmar, dia juga disarankan oleh Uskup Agung Yangon, Kardinal Charles Maung Bo agar tidak menggunakan kata Rohingya sepanjang lawatannya di negara itu.
Baru setelah berada di Bangladesh, tujuannya setelah Myanmar, Paus menggunakan istilah Rohingya bagi para pengungsi dari negara bagian Rakhine tersebut.