Bisnis.com, JAKARTA - Terdakwa korupsi pengadaan KTP elektronik Andi Narogong dituntut pidana penjara selama delapan tahun oleh jaksa penuntut umum.
Dalam sidang pembacaan tuntutan, penuntut umum berpendapat Andi Narogong terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum dalam korupsi pengadaan KTP elektronik.
“Meminta majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sesuai Pasal 3 UU No.31/1999 sebagaimana telah diperbaharui dalam UU No.20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP,” kata penuntut umum, Kamis (7/12/2017).
Karena itu, Andi dituntut hukuman penjara selama delapan tahun dan denda Rp1 miliar subsider kurungan enam bulan penjara. Selain itu, dia juga dikenakan pidana tambahan membayar uang pengganti sebesar US$2,15 juta dan Rp1,1 miliar. Jika tidak bisa dipenuhi dalam tempo satu bulan, diganti dengan hukuman penjara selama tiga tahun.
Andi disebut menjanjikan kepada Burhanudin Napitulu, Ketua Komisi II DPR RI akan memberikan uang kepada para anggota legislatif jika mendukung pembahasan anggaran proyek pengadaan KTP elektronik. Selain itu, Andi juga mengajak Irman berjumpa dengna Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Partai Golkar karena politisi tersebut dianggap sebagai kunci menyukseskan pembahasan anggaran.
Andi kemudian mengajak Irman bersua dengan Setya Novanto di lantai 12 Gedung DPR dan sang politisi mengatakan proses pembahasan anggaran sedang dikoordinasikan dan perkembangan selanjutnya silakan berkomunikasi dengna Andi. Setelah itu, Andi menginisasi pertemuan antara Setya Novanto, Irman, Sugiharto dan Diah Anggraeni di Hotel Gran Melia Jakarta dan pada pertemuan tersebut Novanto mengajak semua peserta mengawal proyek tersebut.
Baca Juga
Andi Agustinus kemudian diperkenalkan oleh Setya Novanto kepada Chairuman Harahap sebagai Ketua Komisi II menggantikan Burhanudin Napitupulu. Selain itu, terdakwa juga bersama-sama dengan adiknya Vidi Gunawan dan Presiden Direktur Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardja, yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka, untuk membentuk konsorsium yang akan mengikuti tender pengadaan KTP.
“Terdakwa juga meminta Irman selaku Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil untuk memenangkan konsorsium PNRI. Irman kemudian minta Drajad Wisnu Setiawan selaku panitia tender untuk memastikan kemenangan konsorsium PNRI. Bertempat di rumah terdakwa di Kemang Pratama, Bekasi, Drajad Wisnu kemudian berjumpa dengna perwakilan konsorsium untuk memastikan persyaratan pelelangan guna memastikan kemenangan konsorsium,” kata penuntut umum.
Penuntut umum juga menguraikan setelah penandatangan kontrak, Andi bersama Anang Sugiana, Johanes Marliem, Paulus Tanos bersua dengan Setya Novanto untuk menanyakan perihal modal membiayai proyek. Saat itu Novanto mengatakan modal awal akan diusahakan oleh Made Oka Mas Agung, bos Gunung Agung. Dia juga mengatakan fee dari proyek tersebut juga diserahkan ke Made Oka.
Setelah penyaluran modal awal dan proyek berjalan, Andi bersama Paulus Tanos bersua dengan Setya Novanto dan Chairuman Harahap. Pada pertemuan tersebut para politisi menagih comitment fee yang disusul oleh pertemuan antara Andi, Johanes Marliem dan Anang Sugiana untuk membicara cara memberikan fee dan diputuskan penyaluran dilakukan oleh PT Quadra Solution sebesar US$7 juta melalui Made Oka. Saat pengerjaan proyek pun Andi mendorong konsorsium agar meminta pembayaran tetap dilakukan meski pengerjaan proyek tidak mencapai target yang telah ditentukan.
Pada sidang itu penuntut umum juga menyatakan perbuatan Andi tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi dan berdampak secara masif terhadap pengelolaan data kependudukan yang masih dirasakan hingga saat ini serta merugikan keuangan negara.
Adapun hal-hal yang dianggap meringankan yakni terdakwa belum pernah dihukum, menyatakan menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya serta memberikan keterangan secara jujur dan telah ditetapkan sebagai justice collabolator untuk membantu KPK menjerat pelaku lain dalam kasus ini.