Bisnis.com, JAKARTA – Gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat, sebagai upaya pencegahan kekerasan terhadap anak, masih menghadapi beberapa tantangan.
Dalam keterangan resminya, Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pribudiarta mengatakan setidaknya ada enam tantangan pengembangan dan peningkatan Gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
Pertama, fenomena jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang cukup signifikan dan makin beragam permasalahannya. Kedua, masih banyaknya daerah kabupaten/kota dan desa/kelurahan yang belum terjangkau untuk menjadi model PATBM.
Ketiga, minimnya pemangku kebijakan/fasilitator/pemerhati anak yang terlatih PATBM. Oleh karena itu, SDM potensial untuk pengembangan PATBM masih sangat terbatas. Keempat, minimnya penganggaran terkait PATBM. Oleh karena itu, sambungnya, perlu solusi terhadap aksesibilitas sumber-sumber pendanaan yang ada.
Kelima, kultur, budaya, dan agama yang berbeda-beda di Indonesia. Pasalnya, beberapa keberhasilan PATBM mencakup adanya nilai-nilai dalam masyarakat yang bisa diintegrasikan, agar anak terhindar dari kekerasan, misal agama dan budaya tradisional.
Keenam, pentinya dukungan para penggerak kegiatan, seperti tokoh masyarakat, agama, adat, pendidikan, serta penggiat aktivis anak dan keluarga. Sinergitas yang terbentuk dari berbagai lembaga kemasyarakatan yang telah ada sangat diperlukan.
Berdasarkan survei Kemen-PPPA pada 2013, 1 dari 2 laki-laki, serta 1 dari 6 perempuan pada kelompok umur 18-24 tahun setidaknya mengalami satu pengalaman kekerasan seksual, fisik atau emosional sebelum berumur 18 tahun.
Sementara itu, pada kelompok umur 13-17 tahun, ada tidak lebih dari 30% anak laki-laki maupun perempuan yang melaporkan mengalami paling tidak salah satu jenis kekerasan, bahkan lebih.
Fenomena lain yang terjadi yakni peningkatan jumlah anak sebagai pelaku kekerasan tiap tahun. “Umumnya anak pelaku juga pernah mengalami kekerasan,” ujar Pribudiarta.
Pihaknya berharap PATBM dapat menurunkan angka kekerasan pada anak dengan mengubah norma sosial. Gerakan ini juga diharapkan mampu mengubah praktik budaya yang menerima, membenarkan atau mengabaikan kekerasan.
Selain itu, sistem pada tingkat komunitas dan keluarga untuk pengasuhan yang mendukung relasi yang aman untuk mencegah kekerasan dapat terbangun. Keterampilan hidup dan ketahanan diri anak dalam mencegah kekerasan pun dapat meningkat.
“Dan tentunya dapat meningkatkan keterampilan masyarakat dalam menanggapi kekerasan terhadap anak dengan melakukan jejaring dengan lembaga layanan yang tersedia,” tuturnya.