Kabar24.com, JAKARTA - Setelah Menko Polhukam Wiranto pada 8 Mei 2017 mengumumkan sikap pemerintah untuk membubarkan organisasi masyarakat radikal dan anti-Pancasila, reaksi publik beragam. Pro dan kontra itu bermuara pada satu pertanyaan dan penantian akan langkah pemerintah selanjutnya.
Dalam beberapa diskusi mengenai hal ini, pemerintah dinilai lamban dan ragu. Akan tetapi, Presiden Joko Widodo akhirnya menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, pada 12 Juli 2017.
"PBNU menilai langkah Presiden tersebut sangat cerdas dan aspiratif. Bahkan tepat dan konstitusional," ujar Robikin Emhas, Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dalam siaran pers PBNU, Rabu (12/7/2017).
Sebelumnya 14 ormas, termasuk Nahdlatul Ulama, yang tergabung dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) meminta pemerintah segera menerbitkan Perppu tentang Ormas Anti Pancasila.
Sebanyak 14 ormas tersebut meliputi Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Al-Irsyad, Al-Islmiyah, Arrobithoh Al-Alawiyah, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, Mathlaul Anwar, dan Attihadiyah. Ormas lain adalah Azikra, Al-Wasliyah, IKADI, Syariakat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Dewan Da’wah Islamiyah.
Sekaitan dengan itu PBNU mendukung penuh terbitnya Perppu 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan karena akan mempercepat proses hukum penanganan ormas radikal, tanpa memberangus hak-hak konstitusional Ormas.
Seperti dimaklumi, belakangan penyebaran paham radikalisme di Indonesia berlangsung sangat masif dan berlangsung secara terstruktur. Kalau dibiarkan dan hukum serta UU tidak memadai untuk menanggulanginya, maka akan sangat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Bahkan, menurut Robikin, kelangsungan NKRI. Karena ibarat sel kanker, tingkat penyebarannya sangat cepat sehingga dibutuhkan penanganan yang tepat dan cepat, termasuk melalui pendekatan hukum. Namun di sisi lain UU Ormas yang ada dinilai tidak cukup memadai dalam menanggulanginya.
Dia menyatakan UUD 1945 dengan tegas membari hak konstitusional kepada Presiden untuk menerbitkan Perppu manakala terdapat kegentingan yang memaksa. Namun konstitusi tidak menjelaskan apa yang dimaksud kegentingan yang memaksa.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 telah menentukan syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa.
Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum.
Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama. Padahal, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin.
Oleh karena itu, dia menilai, pembentukan dasar hukum guna memberi landasan hukum untuk pembubaran ormas radikal dan anti-Pancasila, dalam hal ini Hizbut Tahrir Indonesia, adalah tindakan yang tepat. "Karena HTI jelas-jelas membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merongrong persatuan dan kesatuan bangsa."
Menurutnya, HTI menafikan kemajemukan masyarakat Indonesia yang telah terbangun sejak ratusan tahun lalu. HTI terbukti anti-Pancasila dan mendesakkan sistem khilafah yang justru tidak dipakai lagi di negara-negara Islam. Bahkan Hizbut Tahrir pun sudah ditolak di negara-negara Islam. "Dalam keadaan segenting ini, penerbitan Perppu adalah tepat dan konstitusional," tukas Robikin.