Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Tiga Cacat Hukum Pansus Hak Angket KPK Menurut Pakar

Publik kembali membela Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinilai sedang diserang kekuatan lain. Di masa lalu, publik bergelombang mendukung KPK saat sejumlah pemimpinnya dikriminalisasi. Pun demikian saat ini, kala KPK terkesan diserang oleh para politisi Senayan.
Perwakilan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD (kiri) menyampaikan keterangan pers didampingi Ketua KPK Agus Rahardjo, di Jakarta, Rabu (14/6)./Antara-M Agung Rajasa
Perwakilan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD (kiri) menyampaikan keterangan pers didampingi Ketua KPK Agus Rahardjo, di Jakarta, Rabu (14/6)./Antara-M Agung Rajasa

Kabar24.com, JAKARTA - Publik kembali membela Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinilai sedang diserang kekuatan lain. Di masa lalu, publik bergelombang mendukung KPK saat sejumlah pemimpinnya dikriminalisasi.

Pun demikian saat ini, kala KPK terkesan diserang oleh para politisi Senayan.

Dukungan terhadap KPK paling akhir, Kamis (15/6/2017) petang datang dari kelompok masyarakat yang menggelar aksi simpatik #indonesiawaras. Mereka bahkan mengeluarkan maklumat Indonesia Waras di depan Gedung KPK yang intinya membela KPK dan kesiapan melawan koruptor.

Selain kelompok Indonesia Waras, sebelumnya Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara menilai adanya tiga cacat hukum Pansus Hak Angket KPK.

"Cacat hukum karena tiga hal pertama karena subjeknya yang keliru, kedua karena objeknya yang keliru, dan ketiga prosedurnya yang salah," kata Ketua Umum DPP APHTN-HAN Mahfud MD saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu (14/6/2017).

Soal subjeknya yang keliru, Mahfud mengatakan secara historis hak angket itu dulu hanya dimaksudkan untuk pemerintah.

"Dulu kan pertama kali di Inggris itu untuk pemerintah. Lalu di Indonesia diadopsi pada 1950 ketika sistem parlementer untuk keperluan mosi tidak percaya kepada pemerintah lalu diadopsi di dalam UUD yang sekarang hak angket itu tetapi tetap konteksnya pemerintah karena tidak mungkin DPR itu mengawasi yang bukan pemerintah," tuturnya.

Selanjutnya terkait objeknya yang keliru, ia menilai bahwa di dalam Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang MD3 menyebutkan hak angket itu untuk menyelidiki pelaksanaan Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah.

"Di situ disebut di penjelasannya bahwa siapa itu pemerintah mulai presiden, wakil presiden, para menteri, jaksa agung, kapolri, dan lembaga pemerintah nonkementerian. Basarnas, LIPI, Wantimpres itu lembaga pemerintah nonkementerian. Tetapi di luar itu bukan lembaga pemerintah seperti KPK itu bukan lembaga pemerintah," kata Mahfud.

Terakhir menyangkut masalah prosedur, Mahfud menyatakan prosedur pembuatan Pansus Hak Angket itu diduga kuat melanggar undang-undang.

"Karena pertama menurut yang disiarkan di media massa pada waktu itu dipaksakan prosedurnya. Ketika itu masih banyak yang tidak setuju tiba-tibak diketok. Seharusnya di dalam keadaan belum bulat suaranya mestinya kan divoting ditanya dulu, nah itu dianggap sebagai manipulasi persidangan," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.

Menurut Mahfud, Pansus Hak Angket itu juga terkesan dipaksakan karena baru ada tujuh fraksi di DPR RI yang mengirimkan wakilnya.

"Padahal menurut Pasal 201 Ayat 3 Undang-Undang MD3 harus semua fraksi ada di dalam panitia itu, kalau itu dipaksakan berari melanggar juga prosedur yang ada," ucap Mahfud.

Di sisi lain, KPK juga telah mengundang ahli hukum pidana Indriyanto Seno Adji untuk membahas keabsahan Hak Angket KPK itu.

Indriyanto menyatakan yang menjadi salah satu pembicaraan dengan KPK tadi adalah mengenai keabsahan hak angket karena belum terwakilinya semua fraksi tersebut.

"Pembicaraan ini masih kami tunggu dari ahli lainnya. Jadi soal keabsahannya masih kami bicarakan. Persoalan ini masih kami dalami," ucap mantan Pelaksana Tugas (Plt) pimpinan KPK tersebut.

Usulan hak angket tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari. KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.

Pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.

Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa.

KPK telah menetapkan Miryam sebagai tersangka memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik (KTP-e) atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Saeno
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper