Kabar24.com, JAKARTA- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengusulkan agar perlunya dilakukan audit hak asasi manusia sebelum izin operasi suatu perusahaan berakhir, atau sebelum perpanjangan izin pelaksanaan pertambangan.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nur Kholis mengatakan relasi antara pemerintah, korporasi dan masyarakat telah menyita perhatian besar dunia internasional dalam beberapa dasawarsa terakhir. Menyadari munculnya konflik akibat beroperasinya korporasi, pada 1974 PBB menyetujui tuntutan negara miskin atas tata ekonomi dunia saat itu di mana eksploitasi dari tananan ekonomi dunia berakibat rendahnya pertumbuhan serta melebarnya jurang antara negara kaya da miskin.
Untuk mempersempit jurang itu, negara dunia ketiga menuntut akselerasi pertumbuhan atas perekonomian mereka, pemerataan antarnegara dan realokasi kekuasaan. Selain menyetujui hal itu, pada 2011 Komisi HAM PBB mengesahkan panduan untuk bisnis dan HAM. Audit HAM, paparnya sangat berkaitan erat dengan panduan tersebut.
Menurutnya, audit HAM perlu dilakukan sebagai tolok ukur kepatuhan sebuah perusahaan tambang terhadap berbagai aturan yang melingkupi berbagai aspek seperti lingkungan hidup, ketenagakerjaan, dan sebagainya.
“Misalkan sebelum PT Freeport menyelesaikan kontrak karya harus dilakukan audit HAM untuk mengetahui apakah perusahaan tersebut bersih atau tidak sehingga jika dia akan berinvestasi di tempat lain, nama baik perusahaan itu tidak tercemar,” ujarnya dalam diskusi peluncuran buku Mari Berunding Dengan Kami Pemilik Tanah yang diterbitkan oleh Lembaga Masyarakat Adat Amungme, Kamis (16/3/2017).
Audit juga semestinya dilakukan jika sebuah perusahaan pemegang kontrak karya hendak memperpanjang izin pertambangan di suatu daerah. Adapun aspek-aspek yang harus diaudit meliputi aspek dampak terhadap masyarakat, kemudian terhadap lingkungan serta dampak terhadap perusahaan itu sendiri.
Audit terhadap aspek masyarakat akan menitiberatkan pada penanganan masyarakat lokal pemilik hak ulayat yang menjadi lokasi pertambangan dengan melihat sejauh mana masyarakat setempat sudah mendapatkan hak-hak mereka selaku pemilik lahan.
Aspek lainya yang dilihat yakni dampak keberadaan pertambangan tersebut terhadap lingkunngan. Audit ini akan meneropong seberapa jauh operasi pertambangan bisa menjaga keseimbangan lingkungan. Audit ini juga termasuk menilai sejauh mana sebuah perusahaan tambang menjalankan reklamasi pascaberoperasi.
“Pengalaman di Kalimantan Timur menunjukkan ada perusahaan yang tidak melakukan reklamasi sehingga timbul korban jiwa 24 orang tewas terperosok ke dalam lubang tambang,” tambahnya.
Sementara itu aspek ketiga yang diaudit akan menitiberatkan pada dampak pertambangan terhadap perusahaan itu sendiri, yang meliputi beberapa hal seperti kepatuhan pada regulasi mengenai ketenagakerjaan.
Sementara itu, Odizeus Beanal, Ketua Lembaga Masyarakat Adat Amungme (Lemasa) Timika mengatakan bahwa pihaknya sebagai pemilik hak ulayat di lahan pertambangan PT Freeport Indonesia menuntut perundingan antara masyarakat adat, pemerintah dan perusahaan tersebut.
“Kami dijamin dalam Konvensi Internasional ILO No.169/1989, dan Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Bangsa Pribumi 2007 dan di Indonesia dijamin dalam Ayat 18B UUD 1945 pada amandemen keempat,” tuturnya.
Adapun isi perundingan tersebut seperti hak masyarakat atas tanah, kerusakan lingkungan, luasan wilayah kerja, karyawan, pengamanan, serta penanganan pascatambang sebagai bentuk kompensasi.